Senin, 30 Maret 2015

Jalan Memutar Menjerat Koruptor: PTUN Dulu, Pidana Belakangan

Jakarta - Dengan lahirnya UU Administrasi Pemerintahan, kini tidak mudah menjerat para koruptor. Sebab pejabat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi harus diadili terlebih dahulu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan jika PTUN 'mengizinkan', maka ia baru boleh diseret ke pengadilan pidana.

"Hukum pidana bersifat ultimum remedium, hukum pidana bersifat represif sedangkan hukum administrasi negara dan hukum perdata bersifat preventif sehingga hukum pidana harus dilaksanakan setelah hukum administrasi dan hukum perdata," ucap hakim agung Supandi di Jakarta, Senin (30/3/2015).

Aturan ini tertuang dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 yaitu untuk membuktikan apakah pejabat negara telah benar-benar melakukan wewenang dengan sewenang-wenang atau terjadi ketidaksewenangan hukum harus dibuktikan di PTUN. Sebelum lahirnya UU No 30/2014 ini, penilaian apakah pejabat negara berbuat sewenang-wenang itu diserahkan ke Pengadilan Tipikor, satu paket dengan unsur pidana korupsi yang didakwakan jaksa.

"Pasca diundangkannya UU Nomor 30/2014 maka penyalahgunaan wewenang masuk dalam ranah peradilan tata usaha negara," cetus Supandi.

Jalan memutar menjerat koruptor ini juga menjadi tema seminar Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) di Mercure Ancol, pekan lalu. Guru besar Hukum Administrasi Universitas Hasanuddin Prof Guntur Hamzah menyatakan Pasal 17 UU Administrasi Pemerintahan melarang tegas pejabat pemerintahan menyalahgunakan wewenang. Sebab, jika tindakan penyalahgunaan wewenang ini sudah dicegah (upaya preventif) dalam birokrasi pemerintahan melalui Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), maka sudah tidak ada lagi unsur tindak pidana korupsi.

"Norma inilah yang men-trigger lahirnya UU Adminitrasi Pemerintahan dalam kaitannya upaya pemberantasan korupsi," kata Guntur.

Beda pandangan pakar administrasi, beda pula pandangan ahli pidana. Hakim ad hoc tipikor di tingkat Mahkamah Agung (MA), Prof Dr Krisna Harahap menyatakan UU 30/2014 merupakan langkah nyata menghambat upaya pemberantasan korupsi.

"Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UU No 30 Tahun 2014 ini, nyata-nyata tidak selaras dengan UU Tipikor seperti Pasal 3 UU ini mengatur bagaimana 'setiap orang yang menyalah gunakan kewenangan,kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara'. Setiap orang yang memenuhi unsur-unsur delik yang diatur dalam Pasal 3 (bukan hanya Pegawai Negeri) terancam pidana penjara 1-20 tahun," cetus Krisna Harahap.

"Tegasnya, UU No 30 Tahun 2014 menghambat upaya pemberantasan korupsi," sambung Krisna yang juga mantan anggota Komisi Konstitusi MPR-RI itu.

Begini Rumitnya Pemberantasan Korupsi Pasca Lahirnya UU Administrasi

detik.com
Jakarta - Menurut UU Adminstrasi Negara, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara bukan delik pidana dan murni kesalahan administrasi. Hal ini bertentangan dengan UU Tindak Pidana Korupsi yang mengancam pelaku maksimal 20 tahun penjara.

Hal itu dituangkan dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

"Undang-Undang ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, Undang-Undang ini harus mampu menciptakan yang semakin baik, transparan, dan efisien," demikian bunyi penjelasan UU itu sebagaimana dikutip detikcom, Senin (30/3/2015).

Selama ini, penyalahgunaan wewenang yang koruptif cukup dijerat oleh majelis Pengadilan Tipikor. Penyalahgunaan wewenang yang diadili salah satunya Pasal 3 UU Tipikor yang berbunyi:

Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak 1 miliar.

Nah, dengan lahirnya UU Adminstrasi Pemerintahan, hakim pengadilan tipikor 'dicabut' haknya menilai apakah ada unsur 'menyalahgunakan kewenangan' atau tidak.

"Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah," ujar pasal 20 ayat 1.
Hasil pengawasan internal itu adalah tidak terdapat kesalahan, terdapat kesalahan administratif dan terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif ditindaklanjuti dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagaimana jika ada kerugian negara?

"Pengembalian kerugian negara dibebankan kepada Badan Pemerintahan, apabila kesalahan administrasi terjadi bukan karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang," demikian bunyi pasal 22 ayat 5.

Jika kerugian negara itu karena ada penyalahgunaan wewenang, maka dibebankan kepada pejabat pemerintahan. Tapi jika keberatan dengan keputusan hasil pengawasan aparat intern pemerintah, pejabat itu lalu mengajukan keberatan ke PTUN tingkat pertama. Perkara ini final dan binding di tingkat banding.

Meski UU Administrasi Pemerintahan telah mengambil unsur pidana dalam 'penyalahgunaan wewenang', tetapi UU Tipikor belum dicabut. Alhasil, pejabat negara yang dinyatakan berbuat sewenang-wenang oleh PTUN masih bisa diadili oleh Pengadilan Tipikor.

"Tegasnya, UU No 30 Tahun 2014 menghambat upaya pemberantasan korupsi," kata mantan anggota Komisi Konstitusi MPR-RI, Prof Dr Krisna Harahap.

Meski secara pidana membuat pemberantasan korupsi berputar-putar tak tentu arah, tapi UU Adminsitrasi Negara ini sontak didukung oleh hakim agung kamar Tata Usaha Negara.

"Hukum pidana bersifat ultimum remedium, hukum pidana bersifat represif sedangkan hukum administrasi negara dan hukum perdata bersifat preventif sehingga hukum pidana harus dilaksanakan setelah hukum administrasi dan hukum perdata," ucap hakim agung Supandi.