Rabu, 25 Februari 2015

Permasalahan dalam Pemutusan Kontrak Konstruksi Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata

Oleh : Dina Simbolon, SH, MH
Kasubbag Bid. Litbang Jaskon

Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi sangat besar kemungkinan terjadi konflik atau sengketa antara pihak yang terlibat di dalamnya. “In a perfect construction world there would be no conflicts, but there is no perfect construction.” (Acharya and Lee, 2006)

Dengan kata lain, sengketa dalam proyek konstruksi tidak terhindari bahkan bisa digambarkan sebagai ‘persoalan yang endemik’. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan sengketa konstruksi? Menurut Nazarkhan Yasin, sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi. Banyak hal yang bisa menyebabkan terjadinya sengketa konstruksi antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidakmampuan teknis maupun manajerial dari para pihak. Sengketa konstruksi berpotensi menjadi beban atas pihak-pihak yang bersengketa oleh karena penyelesaiannya bisa memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi risiko tertundanya pelaksanaan pekerjaan konstruksi akibat tidak tercapainya kesepakatan antara pihak yang bersengketa.

Pengertian jasa konstruksi menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi mencakup layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sengketa konstruksi bisa terjadi pada tahapan perencanaan k o n s t r u k s i , pelaksanaan konstruksi maupun pengawasan konstruksi.

Kegiatan Pembangunan fisik yang kerap dilaksanakan oleh Kementerian PU dalam menyelenggarakan fungsinya juga tak terlepas dari sengketa konstruksi. Sebagai contoh adalah gugatan-gugatan yang diajukan oleh kontraktor sebagai penyedia jasa kepada Kementerian PU sebagai pengguna jasa atas tindakan pemutusan kontrak yang dilakukan oleh Kementerian PU dengan alasan penyedia jasa tidak mampu menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan. Permasalahan yang muncul dalam perkara pemutusan kontrak ini adalah:

  • Mengapa bisa muncul gugatan di pengadilan tata usaha negara padahal sengketa antara Penggugat dan Tergugat didasarkan pada suatu kontrak konstruksi yang merupakan ranah hukum perdata? Walaupun Kementerian PU merupakan badan hukum publik namun ketika mengikatkan diri dalam suatu kontrak, kedudukannya adalah sebagai subjek hukum perdata.
  • Apakah pemutusan kontrak secara sepihak dapat diterima oleh karena berdasarkan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pemutusan kontrak harus dilakukan di depan Hakim (melalui pengadilan)? 
  • Hal-hal apa saja yang dapat menjadi landasan pemutusan kontrak secara sepihak?
Pemerintah sebagai badan hukum publik dapat melakukan tindakan perdata sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “Semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasinya atau menundukkannya kepada tata cara tertentu.” Dengan kata lain pemerintah dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga dalam hal ini penyedia barang atau jasa dalam suatu kontrak dimana di dalamnya diatur hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.

Begitu pula halnya dalam kontrak konstruksi, diatur hak dan kewajiban masing-masing pihak dan hal-hal lain yang dianggap perlu diatur demi menjamin pelaksanaan pekerjaan konstruksi tersebut. Dan hal-hal yang diatur di dalam kontrak, berdasarkan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengikat bagi kedua pihak.

Pemutusan kontrak merupakan salah satu persoalan yang diatur di dalam kontrak, dimana pemutusan kontrak  umumnya diatur di dalam Syarat-Syarat Umum Kontrak (SSUK) yaitu suatu dokumen yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tak terpisahkan dari kontrak. Berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 07/PRT/M/2011, pemutusan kontrak dapat dilakukan sepihak, baik oleh pihak penyedia atau pihak PPK.

Pemutusan kontrak ini dapat dilakukan melalui pemberitahuan tertulis, jadi tidak harus melalui pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal-hal yang dapat menjadi dasar pemutusan kontrak adalah:

  •  Penyedia lalai / cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan;
  • Penyedia tanpa persetujuan Pengawas Pekerjaan, tidak memulai pelaksanaan pekerjaan;
  • Penyedia menghentikan pekerjaan selama 28 (duapuluh delapan) hari dan penghentian ini tidak tercantum dalam program mutu serta tanpa persetujuan Pengawas Pekerjaan;
  • Penyedia berada dalam keadaan pailit;
  • Penyedia selama masa kontrak gagal memperbaiki cacat mutu dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh PPK;
  • Penyedia tidak mempertahankan keberlakuan jaminan pelaksanaan;
  • Denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan penyedia sudah melampaui 5% (lima perseratus) dari nilai kontrak dan PPK menilai bahwa Penyedia tidak akan sanggup menyelesaikan sisa pekerjaan;
  • Pengawas Pekerjaan memerintahkan penyedia untuk menunda pelaksanaan atau kelanjutan pekerjaan, dan perintah tersebut tidak ditarik selama 28 (duapuluh delapan) hari;
  • PPK tidak menerbitkan SPP untuk pembayaran tagihan angsuran sesuai dengan yang disepakati sebagaimana tercantum dalam SSKK;
  • Penyedia terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang berwenang ; dan/atau
  • Pengaduan tentang penyimpangan prosedur dugaan KKN dan/atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan pengadaan dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.

Dalam hal pemutusan kontrak dilakukan oleh karena kesalahan penyedia, maka konsekuensinya adalah :
o   Jaminan Pelaksanaan dicairkan;
o   Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia atau jaminan uang muka dicairkan;
o   Penyedia membayar denda; dan/atau
o   Penyedia dimasukkan dalam Daftar Hitam.

Pemutusan kontrak yang dilakukan oleh PPK dengan alasan keterlambatan penyedia dalam melaksanakan pekerjaan tentunya harus melalui prosedur-prosedur tertentu seperti diberikan peringatan secara tertulis atau dikenakan ketentuan tentang kontrak kritis. Kontrak dinyatakan kritis apabila:

  • Dalam periode I (rencana fisik pelaksanaan 0%-70% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 10% dari rencana;
  • Dalam periode II (rencana fisik pelaksanaan 70%-100% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 5% dari rencana;
  • Rencana fisik pelaksanaan 70%-100% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat  kurang dari 5% dari rencana dan akan melampaui tahun anggaran berjalan.

Penanganan kontrak kritis tersebut dilakukan dengan rapat pembuktian atau Show Cause Meeting (SCM) dengan prosedur sebagai berikut:
  • Pada saat kontrak dinyatakan kritis direksi pekerjaan menerbitkan surat peringatan kepada penyedia dan selanjutnya menyelenggarakan SCM.
  • Dalam SCM direksi pekerjaan, direksi teknis dan penyedia membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalamperiode waktu tertentu (uji coba pertama) yang dituangkan dalam berita acara SCM Tahap I;
  • Apabila penyedia gagal pada uji coba pertama, maka harus diselenggarakan SCM Tahap II yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba kedua) yang dituangkan dalam berita acara SCM Tahap II;
  • Apabila penyedia gagal pada uji coba kedua, maka harus diselenggarakan SCM Tahap III yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba ketiga) yang dituangkan dalam berita acara SCM Tahap III;
  • Pada setiap uji coba yang gagal, PPK harus menerbitkan surat peringatan kepada penyedia atas keterlambatan realisasi fisik pelaksanaan pekerjaan.

Dalam hal terjadi keterlambatan rencana fisik pelaksanaan 70%-100% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat kurang dari 5% dari rencana dan akan melampaui tahun anggaran berjalan, maka PPK dapat langsung memutuskan kontrak secara sepihak dengan mengesampingkan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata setelah dilakukan rapat bersama atasan PPK sebelum tahun anggaran berakhir.

Selain itu pemutusan kontrak secara sepihak oleh PPK juga dibenarkan oleh Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 apabila :

o   Kebutuhan barang/jasa tidak dapat ditunda melebihi batas berakhirnya kontrak;
o   Penyedia barang/jasa cidera janji dan tidak memperbaiki kelalaiannya;
o   Penyedia diyakini tidak mampu menyelesaikan pekerjaan walaupun diberi waktu sampai dengan 50 hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan;
o   Penyedia tidak dapat menyelesaikan pekerjaan setelah diberi waktu 50 hari kalender.

Dari keseluruhan uraian tadi maka dapat disimpulkan bahwa:

  • Sengketa yang timbul dari suatu kontrak konstruksi antara pemerintah yang diwakili oleh PPK dan pihak penyedia merupakan sengketa keperdataan oleh karena ketika pemerintah melakukan suatu tindakan dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada ketentuan hukum perdata maka pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum bukan wakil dari jabatan. Dengan demikian kedudukan pemerintah dalam hal ini setara dengan kedudukan penyedia, sehingga tindakan penyedia mengajukan gugatan terhadap PPK atas pemutusan kontrak di PTUN adalah suatu kekeliruan.

  • Kontrak merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, dengan kata lain hal-hal yang diatur di dalam kontrak mengikat pihak-pihak yang mengadakan kontrak tersebut. Di dalam Syarat-Syarat Umum Kontrak berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri PU No. 07/PRT/M/2011 diatur mengenai pemutusan kontrak, dimana PPK dapat melakukan pemutusan kontrak secara sepihak apabila terjadi hal-hal tertentu yang menjadi alasan pemutusan kontrak. Hal ini merupakan pengesampingan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana pembatalan suatu kontrak harus dengan putusan Hakim. Ketentuan Pasal 1266 tersebut bias dikesampingkan berdasarkan asas kebebasan berkontrak dimana kedua belah pihak menyatakan secara tegas dalam kontrak untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  • Pemutusan kontrak secara sepihak tentunya dilakukan melalui prosedur atau mekanisme yang telah ditentukan dalam Syarat-Syarat Umum Kontrak. Dengan kata lain, ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh PPK sebelum melakukan pemutusan kontrak, antara lain memberikan teguran secara tertulis dan mengenakan ketentuan tentang kontrak kritis dalam hal terjadi keterlambatan pelaksanaan pekerjaan oleh karena kelalaian penyedia.

Jumat, 13 Februari 2015

Prosedur Mekanisme Belanja Tidak Terduga

Dasar Hukum
  • Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah
  • Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana yang telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang  Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah;
  • Peraturan Daerah Provinsi Bali  Nomor 12 Tahun 2009 Tentang Pokok-Pokok Pengelolaan Keuangan Daerah.
  • Prosedur Penganggaran, Penatausahaan dan Pertanggungjawaban.
Belanja tidak terduga sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 huruf h termasuk kelompok belanja tidak langsung dan   pasal  48,  Peraturan  Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006  berbunyi sebagai berikut  :
  • Belanja  Tidak Terduga  sebagaimana dimaksud dalam pasal 37  huruf h merupakan belanja untuk kegiatan  yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan  berulang seperti  penanggulangan bencana alam dan bencana sosial  yang tidak diperkirakan sebelumnya termasuk pengembalian  atas kelebihan  penerimaan daerah tahun tahun sebelumnya yang telah ditutup.
  • Kegiatan yang sifatnya tidak biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu untuk tanggap darurat dalam rangka pencegahan gangguan  terhadap  stabilitas  penyelenggaraan pemerintahan demi terciptanya  keamanan, ketentraman dan ketertiban  masyarakat di daerah.
  • Pengembalian  atas  kelebihan penerimaan daerah tahun–tahun sebelumnya  yang telah ditutup  sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus didukung dengan bukti-bukti yang sah.
Selanjutnya Pasal 154 berbunyi :
  • Perubahan APBD dapat dilakukan  apabila terjadi :
  • Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi KUA
  • Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan, dan antar jenis belanja;
  • Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran  lebih tahun sebelumnya harus digunakan  dalam tahun berjalan;
  • Kedaan darurat; dan
  • Keadaan luar Biasa
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, Pasal 162 berbunyi sebagai berikut :
  • Keadaan darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 154 ayat (1) huruf d sekurang-kurangnya memenuhi  kriteria  sebagai berikut :
  • Bukan merupakan kegiatan  normal  dari aktivitas pemerintah daerah dan tidak  dapat diprediksikan sebelumnya ;
  • Tidak diharapkan  terjadi secara  berulang;
  • Berada diluar kendali dan pengaruh  pemerintah daerah; dan
  • Memiliki dampak  yang signifikant terhadap  anggaran dalam rangka pemulihan  yang disebabkan oleh keadaan  darurat.
  • Dalam keadaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan  pengeluaran  yang belum tersedia anggarannya,yang selanjutnya  diusulkan dalam rancangan  perubahan APBD.
  • Pendanaan keadaan  darurat  yang belum  tersedia  anggarannya sebagaimana  dimaksud  pada ayat  (2) dapat  menggunakan  belanja  tidak terduga.
  • Dalam hal belanja tidak terduga tidak mencukupi  dapat dilakukan dengan cara:
  • Menggunakan dana dari  hasil penjadwalan ulang capaian  target  kinerja  program dan kegiatan lainnya dalam tahun anggaran  berjalan; dan /atau
  • Menfaatkan uang kas yang tersedia.
  • Pengeluaran  sebagaimana dimaksud pada ayat (2) termasuk  belanja untuk keperluan  mendesak  yang kriterianya  ditetapkan  dalam peraturan  daerah tentang APBD
  • Kriteria belanja untuk keperluan  mendesak    sebagaimana dimaksud pada ayat (5)  mencangkup :
  • Program dan kegiatan  pelayanan  dasar masyarakat  yang anggarannya  belum tersedia dalam tahun  anggaran berjalan; dan
  • Keperluan  mendesak lainnya yang apabila ditunda akan menimbulkan  kerugian  yang lebih besar  bagi pemerintah  daerah dann masyarakat.
  • Penjadwalan ulang capaian  target kinerja program dan kegiatan  lainnya  dalam tahun  anggaran berjalan sebagaimana dimaksud  pada ayat (4) huruf a diformulasikan  terlebih dahulu dalam DPPA-SKPD.
  • Pendanaan keadaan darurat untuk kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat  (2) diformulasikan  terlebih dahulu  dalam RKA-SKPD, kecuali untuk kebutuhan tanggap darurat bencana.
    1. (8a)  Belanja kebutuhan tanggap darurat  bencana sebagaimana dimaksud  pada ayat (8) dlakukan dengan  pembebanan  langsung  pada belanja  tidak terduga.
    2. Belanja Kebutuhan tanggap darurat  bencana sebagaimana dimaksud  pada ayat (8) digunakan hanya untuk  pencarian  dan penyelamatan korban bencana, pertolongan  darurat, evakuasi korban bencana,  kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan dan penampungan  serta tempat hunian  sementara.
    3. Tata cara pelaksanaan, penatausahaan , dan pertanggungjawaban belanja  kebutuhan tanggap darurat bencana sebagaimana dimaksud pada ayat  (8b) 
Sumber Berita: http://birokeuangan-provbali.info/berita-prosedur-mekanisme--pengelelolaan-belanja-tidak--terduga-untuk-pendanaan---keadaan--darurat.html#ixzz3Rcfzhs6Z

Selasa, 03 Februari 2015

PENGELUARAN KAS AKHIR TAHUN "Beberapa Hal Modus yang wajib dicermati dan diwaspadai"

Latar Belakang
Pada Bulan Desember, penyerapan anggaran yang dilakukan pemerintah daerah sering terjadi penumpukan. Pelaksanaan proyek-proyek ‘kejar tayang’ yang dilakukan di SKPD sangat banyak dilakukan. Berbagai upaya telah dilakukan oleh BUD dalam mencermati fenomena pengeluaran kas akhir tahun. Upaya yang paling mendasar adalah menetapkan batas akhir pengajuan SPM dari SKPD untuk diterbitkan SP2D oleh BUD. Biasanya hal ini ditetapkan melalui Surat Edaran Sekretariat Daerah perihal pengajuan SPM akhir tahun, yang menetapkan batas akhir tanggal berkisar 15 – 25 Desember. Hal ini tergantung kebijakan pemda yang bersangkutan. SPM yang diterima oleh BUD setelah tanggal ditentukan seyogyanya ditolak penerbitan SP2D nya, namun pada pelaksanaanya tidak dapat setegas itu. Pekerjaan yang benar-benar selesai dan tidak dapat terbayar akan menimbulkan masalah bagi pemda, dan dapat menurunkan kredibilitas pemda ybs.
Sesuai dengan Permendagri 59/2007 pasal 216 ayat (1) yaitu Kuasa BUD meneliti kelengkapan dokumen SPM yang diajukan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran agar pengeluaran yang diajukan tidak melampaui pagu dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Kelengkapan SPM dimaksud dijelaskan dalam ayat (5) berupa surat pernyataan tanggung jawab pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran dan bukti-bukti pengeluaran yang sah dan lengkap sesuai dengan kelengkapan persyaratan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. “Bukti-bukti pengeluaran yang sah dan lengkap” terkait dengan dokumen pelaksanaan kegiatan berawal saat SPP akan diterbitkan oleh bendahara pengeluaran. Dokumen yang menjadi dasar adalah merupakan kewajiban PPTK untuk menyiapkannya, yaitu antara lain : SSP disertai faktur pajak (PPN dan PPh) yang telah ditandatangani wajib pajak dan wajib pungut, berita acara penyelesaian pekerjaan/berita acara serah terima barang dan jasa, berita acara pemeriksaan barang berikut lampiran daftar barang yang diperiksa, berita acara pembayaran/kwitansi bermeterai, nota/faktur, surat jaminan bank, surat pemberitahuan potongan denda keterlambatan pekerjaan dari PPTK apabila pekerjaan mengalami keterlambatan, dan kelengkapan kontrak (ikhtisar kontrak, surat perjanjian kerja sama yang disertai dengan nomor rekening pihak ketiga, dokumentasi, berita acara prestasi kemajuan pekerjaan, dll)
Dalam melaksanakan ketentuan diatas, SKPD sering melakukan keterlambatan pengajuan SPM yang berawal dari keterlambatan pengajuan SPP, karena belum lengkapnya syarat sahnya diterbitkan SPP untuk dilakukan pengajuan pembayaran. Keterlambatan dokumen yang utama adalah belum dibuatnya berita acara penyelesaian pekerjaan karena pekerjaan akhir tahun SKPD yang molor, dalam hal ini pekerjaan belum selesai pada akhir tahun. Pekerjaan yang belum selesai antara lain disebabkan terlambat mulainya proses lelang/surat perintah kerja dan terlambatnya penyelesaian proyek oleh rekanan.
Mekanisme Pencairan Kas
Proses pencairan kas akhir tahun merupakan proses yang sangat rawan, karena dilema hal-hal diatas. Sistem administrasi pengeluaran kas yang merupakan sistem pengendalian intern yang dirancang untuk melindungi aset pemerintah sangat berpotensi “dilabrak” karena kepentingan pencairan dana. Pada akhir tahun, BUD selain sibuk dalam mengurusi penerbitan SP2D, juga sibuk menerima telepon dari SKPD, pihak-pihak yang memiliki kepentingan yang “memaksa” pencairan dana sebelum melewati akhir tahun. Hal-hal yang perlu diwaspadai;
A. Blokir dana rekanan
Pemda melakukan cara yaitu meminta surat pernyataan dari rekanan pelaksana untuk menyelesaikan pekerjaan sesuai batas waktu di kontrak. Berdasarkan surat tersebut, SKPD membuat surat pengajuan pembayaran dengan dokumen berita acara penyelesaian pekerjaan/serah terima yang sudah dikondisikan. Saat SP2D terbit, kepala SKPD mengajukan permohonan pemblokiran dana sehingga uang yang sudah masuk ke rekening rekanan tidak bisa dicairkan sebelum ada surat pembukaan pemblokiran dari kepala SKPD.
Surat tersebut ditandatangani kepala SKPD dan rekanan diatas materai. Surat pembukaan pemblokiran disampaikan kepada pihak bank, segera setelah pekerjaan “senyatanya” selesai dikerjakan oleh rekanan.
B. Transfer ke rekening penampungan
Pengeluaran kas daerah dilakukan tanpa/dengan proses SP2D, dana tersebut dikirim ke rekening tampungan. Setelah melalui proses persetujuan BUD atau bank lebih lanjut, dana akan di transfer ke rekening pihak ketiga/rekanan. Rekening tampungan tersebut bisa dimiliki oleh :
1) Pihak Pemda/BUD
Rekening ini dibuka oleh pihak pemda/BUD, sehingga pemda/BUD memiliki akses atas rekening. Rekening ini merupakan rekening liar, biasanya tidak dilaporkan dalam laporan keuangan. Pengujian terinci atas rekening ini harus dilakukan untuk mendeteksi penyimpangan yang mungkin dilakukan, seperti potongan pembayaran, jasa giro, penarikan/penyimpanan uang diluar otorisasi, dll.
2) Pihak Bank
Rekening ini merupakan rekening tampungan yang dikuasai sepenuhnya oleh bank, artinya BUD tidak memiliki akses pada rekening ini. Namun biasanya melalui “kerjasama” antara Pemda-Bank, biasanya rekening ini merupakan rekening yang dapat menampung dana kas daerah sebelum di lanjutkan ke rekening pihak ketiga/rekanan.
Rekening perantara ini bernomor rekening 0099000XXX R/P TelXX Pemda X, atau R/P Penampungan Pemda X, dll. rekening ini digunakan untuk penampungan/perantara sementara saat dilakukan transfer dari kasda ke rekening tujuannya. Penggunaan normal rekening ini untuk menampung nilai transaksi yang tidak dapat langsung masuk ke rekening tujuan karena adanya kesalahan kecil pada penulisan rekening tujuan; sehingga membutuhkan konfirmasi ulang, namun tidak perlu dilakukan pembuatan SP2D ulang. rekening ini penggunaannya diatur dalam peraturan intern bank, yang umumnya mensyaratkan rekening harus bersaldo nihil setiap hari/beberapa hari kemudian sesuai ketentuan bank.
Beberapa pengalaman, untuk menyelesaikan pengeluaran kas pada akhir tahun, pendebetan rekening Kas Daerah dilakukan melalui “daftar pembayaran” dari SKPD yang belum dibuatkan SP2D oleh BUD. Pada akhir tahun, Bendahara pengeluaran SKPD tersebut membuat “Daftar Pembayaran” dan kemudian menyerahkannya kepada BUD. Selanjutnya, langsung dibuat Berita Acara Pengeluaran Kas antara BUD dan pihak Bank untuk dilakukan pendebetan rekening Kas Umum Daerah. Pengeluaran kas daerah senilai puluhan milyar dicairkan tanpa melalui mekanisme SP2D dan didebet pada kas umum daerah untuk masuk ke rekening tampungan Bank. Transfer selanjutnya dari rekening penampungan ke rekening pihak ketiga dilakukan setelah SP2D “riil” diterbitkan oleh BUD setelah akhir tahun. SP2D “riil” yang dibuat bulan Januari-Maret tahun berikutnya, setelah kelengkapan dokumen yang menjadi syarat penerbitan SP2D diterima. Pencantuman tanggal SP2D “tentunya” tidak melewati akhir tahun.
Beberapa hal yang perlu diingat
Fakta-fakta tersebut diatas dapat diindentifikasi melalui:
Pengujian walktrough untuk kas BUD
Hal pertama yang harus dilakukan adalah melakukan perhitungan walktrough per tanggal dilakukan cash opname pada BUD untuk mengetahui saldo kas pada tanggal 31 desember. Perhitungan dilakukan dengan memperhitungkan komponen saldo kas bank pada tanggal kas opname (Januari-Pebruari) dan mengurang-tambahkan dengan penerimaan dan pengeluaran antara 31 desember tahun lalu sampai dengan tanggal kas opname.
Saat melakukan walkthrough, komponen penerimaan dan pengeluaran yang diperhitungkan harus dianalisa. Sebagai penerimaan/pengeluaran baku adalah bersumber pada SP2D yang memang dianggarkan pada tahun selanjutnya. Jika ada penerimaan/pengeluaran lain pada tanggal tersebut, perlu di analisis lebih lanjut, karena seringkali hanya merupakan komponen penyeimbang kas daerah yang tekor pada tahun sebelumnya.
Pada saat itu, biasanya terdapat penerimaan dari pembatalan SP2D yang tentunya mengundang pertanyaan, "Bagaimana mungkin pembatalan SP2D merupakan penerimaan pada rekening BUD?" Hanya dua alternatif yang dapat disimpulkan, yakni SP2D tersebut telah dieksekusi keluar dari kas daerah, dimasukkan ke "rekening tampungan" atau "rekening pihak ketiga".
Register pembatalan SPM/SP2D
Perlu dilihat register pembatalan SPM/SP2D untuk kemudian mencocokannya dengan database sistem keuangan pemda, apakah SPM/SP2D tersebut telah mendebet rekening pemda. Analisis atas alasan pembatalan, apakah hanya karena kelengkapan administrasi semata.
Saat itu, dokumen berupa surat SPKD kepada BUD yang menjadi dasar pembatalan SPM adalah SPM tersebut sudah pernah dibayar. Seharusnya atas “beban pengeluaran yang sudah pernah dibayar” tidak dapat terjadi karena harus melalui verifikasi BUD. Artinya pengeluaran ini adalah tanpa verifikasi BUD, yaitu tanpa proses SP2D
Log File sistem
Log file sistem memperlihatkan tanggal, jam saat sebuah SP2D diinput user pada aplikasi SP2D. komputer umumnya “jujur” memperlihatkan saat user membuat SP2D. Namun pada beberapa kasus, log file ini telah dikondisikan, sehingga cukup sulit dijadikan dasar penarikan kesimpulan.
Saat itu, sistem aplikasi keuangan daerah yang menggunakan SQL di copy ulang dan ditransfer ke Ms-Access, dengan mengikutsertakan field log file yang merupakan tanggal peneriman SPM dan pembuatan SP2D oleh BUD. Proses ini menunjukkan bahwa pengeluaran tanpa SP2D bukan hanya sebesar yang terdapat pada pengembalian SP2D, namun diluar itu terdapat puluhan milyar yang dikeluarkan dengan SP2D baru dibuat antara Januari-Maret setelah tahun berakhir. Beberapa log file telah dikondisikan, sehingga log file tidak dapat menjadi bukti audit utuh yang secara akurat memperlihatkan seluruh pembuatan SP2D setelah akhir tahun. Namun hal tersebut cukup untuk dasar penarikan kesimpulan.
Berita acara pengeluaran kas.
Berita acara pengeluaran kas merupakan dokumen legal yang dapat diterima setiap pihak. Niscaya, tanpa melalui proses a – c , berita acara pengeluaran yang diperoleh mungkin hanya merupakan dokumen yang telah dikondisikan, sehingga dari kejadian maupun jumlah nilai tidak sesuai dengan kejadian yang sebenarnya.

https://id-id.facebook.com/KOMPASIANAcom/posts/643664182346236