Rabu, 19 Agustus 2015

Implikasi UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Seiring telah diundangkannya UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada tanggal 17 Oktober 2014 yang lalu juga memancing diskursus tentang gugurnya kapasitas penyidik dalam menilai suatu perbuatan termasuk dalam ranah penyalahgunaan wewenang karena telah beralih kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk diuji terlebih dahulu.
Apakah benar demikian adanya?
Setidaknya orang-orang yang berkesimpulan demikian mengambil pengertian tersebut dari bunyi ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Administasi Pemerintahan tersebut, yaitu sebagai berikut :
Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
Sedangkan yang dimaksud dengan Pengadilan pada ayat di atas dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 18 UU yang sama, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara.
Frasa menyalahgunakan kewenangan/ penyalahgunaan wewenang dapat kita temukan dalam rumusan Pasal 3 UU PTPK, yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan demikian unsur “menyalahgunakan kewenangan” sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diartikan memiliki pengertian yang sama dengan “penyalahgunaan kewenangan” sebagaimana disebut dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, atau lebih jauh lagi bahwa ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tersebut dianggap telah mencabut kewenangan yang dimiliki penyidik dalam melakukan penyidikan dalam rangka mengetahui apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh seorang tersangka selaku pejabat pemerintahan yang mana menurut hal tersebut seharusnya menjadi objek untuk diuji terlebih dahulu di Peradilan Tata Usaha Negara.
Sesungguhnya diskursus ini hanya mengulang kembali perdebatan lama di antara para ahli hukum tentang adanya keterkaitan antara hukum administrasi negara dengan hukum pidana yang dalam hal ini khususnya mengenai tindak pidana korupsi. Keterkaitan tersebut menimbulkan kesulitan dalam membedakan kapan seorang aparatur negara itu melakukanperbuatan melawan hukum yang masuk dalam ruang lingkup hukum pidana dan kapan dapat dikatakan melakukan penyalahgunaan wewenang yang masuk dalam ruang lingkup hukum administrasi negara.
Penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri :
  1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan;
  2. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas;
  3. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik;
Secara substansial, asas spesialitas (specialialiteit beginsel) mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Penyimpangan terhadap asas ini akan melahirkan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir). Parameter peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik dipergunakan untuk membuktikaninstrumen atau modus penyalahgunaan kewenangan (penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UUPTPK), sedangkan penyalahgunaan kewenangan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana apabila berimplikasi terhadap kerugian negara atau perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi, dan pemerasan), Tersangka mendapat keuntungan, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela.
Pada kenyataannya, tanpa bermaksud untuk ikut larut dalam perdebatan akademis tersebut, sesungguhnya hukum pidana menganut prinsip “personal responsibility” yang artinya tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Hal ini secara langsung telah memberi garis batas yang jelas dalam hal ditemukan adanya “wilayah abu-abu” dalam peririsan antara hukum administrasi dengan hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), sedangkan dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility). Dalam hal ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparatur negara dengan tujuan-tujuan yang tidak dibenarkan dan khususnya untuk tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang tersebut mengakibatkan kerugian negara atau perekonomian negara maka hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang dipertanggung jawabkan secara pribadi dan masuk ruang lingkup hukum pidana.
Untuk memberi kesimpulan yang jelas bahwa pengertian “penyalahgunaan wewenang” sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 3 UUPTPK tidak bisa ditafsirkan secara paralel melalui ketentuan di luar hukum pidana marilah kita simak Putusan Mahkamah Agung RI No. 979 K/Pid/2004 yang mana salah satu pertimbangannya berbunyi sebagai berikut :
Menimbang, bahwa sehubungan dengan unsur tindak pidana tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukakan pendapat-pendapat Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. dalam makalahnya “Antara Kebijakan Publik” (Publiek Beleid, Azas Perbuatan Melawan Hukum Materiel dalam Prespektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia)” yang pada pokoknya adalah Pengertian “menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian tersebut dalam hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ektensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian “De Autonomie van het Materiele Strafrecht” (Otonomi dari hukum pidana materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara, sebagai suatu cabang hukum lainnya. Di sini akan diupayakan keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu hukum pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya. Apakah yang dimaksud dengan disharmoni dalam hal-hal dimana kita memberikan pengertian dalam Undang-Undang Hukum Pidana dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang hukum lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan konstruksi dalam menerapkan hukum pidana pada cabang hukum lain. Kesimpulannya dikatakan bahwa mengenai perkataan yang sama, Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dengan demikian apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan” tidak ditemukan eksplisitasnya dalam hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya;

Senin, 17 Agustus 2015

Tulisan Menarik dari Kompasiana tentang APH

Dua lembaga negara yang aktif dalam membawa para pelaku korupsi dan yang diduga melakukan tindak korupsi adalah Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua lembaga ini memiliki kesamaan tanggung jawab dalam pemberantasan tipikor, namun memiliki perbedaan pendekatan dalam memerangi korupsi. KPKumumnya melakukan pendekatan 'keras', dimana tersangka korupsi terbukti tertangkap tangan, kemudian baru diajukan ke pengadilan. Dua contoh terakhir, Rudy Rubiandini dan Akil Mukhtar petinggi lembaga bergengsi, 'tertangkap basah' menerima 'gratifikasi' ratusan ribu dolar. Alat bukti jelas dan meyakinkan, baru kemudian di proses. Untuk kasus yang sifatnya agak "abu-abu" KPK butuh waktu yang agak lama untuk mengumpulkan bukti-bukti dan cenderung untuk lebih berhati-hati, sebagai contoh: Hambalang dan Century.

Sementara kejagung mengandalkan pada laporan dari pihak lain(umumnya LSM atau perseorangan) dan kemudian mengembangkan kasus berdasarkan laporan tersebut tanpa melihat apakah terduga 'benar-benar' melakukan tindakan korupsi atau tidak. Kasus-kasus yang kita baca di media seperti, Bioremediasi Chevron, frekuensi IM2, Merpati, pengadaan spare part PLN medan dan terakhir kasus perumahan bupati.
Secara awam kita bisa melihat dua perbedaan yg mendasar, dimana satu lembaga menggunakan alat bukti jelas dan satu lembaga lain menggunakan laporan pihak ketiga yg umumnya didasarkan laporan dari pihak yg kalah dalam tender di organisasi tersebut.
  • Bioremediasi Chevron. Secara gamblang dan terang dijelaskan bahwa tidak terdapat penyelewengan oleh pihak chevron oleh institusi yg berwenang spt SKK Migas, Migas dan KLH, namun pihak kejagung mengangkat kasus ini dengan mengandalkan laporan seorang 'saksi ahli' yg ternyata adalah pihak yg kalah tender dalam proses lelang bioremediasi. Pengadilan pertama, sebagaimana kita ketahui, para terdakwa, beberapa malah tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan bioremediasi telah diputuskan bersalah oleh pengadilan negri. Saat ini para terdakwa mengupayakan banding. Akibat kasus ini, proses bioremediasi Chevron dihentikan yang tentu saja berdampak pada isu lingkungan dari kegiatan produksi MIGAs.
dan masih banyak link yang memberikan pemahaman yang komperhensif untuk kasus ini.
  • Frekuensi IM2. Ini adalah kasus 'yg aneh' bin ajaib. Entah bagian mana yg dianggap merugikan negara, karena berdasarkan sidang di pengadilan tidak ada keuangan negara yang ditilap. Potensi kerugian negara dihitung berdasarkan hitungan menghina logika berpikir.  Walaupun mentri telekomunikasi menyatakan tidak terdapat pelanggaran dan juga masyarakat telekomunikasi sepakat menyatakan tidak ada kerugian dalam penggunaan frekuensi ini, tp kejagung tetap melanjutkan kasus ini. Pelapor kasus ini adalah terpidana 'pemeras' perusahaan Indosat dan telah divonis 16 bulan penjara oleh PN Jakarta. Lebih lengkap mengenai kasus ini boleh digoogle di kompasiana, salah satunya link ini:
  1. http://hukum.kompasiana.com/2013/06/05/salah-tafsir-jaksa-dan-penerapan-hukum-yang-keliru-pada-kasus-im2-indosat-562428.html
  2. http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/429743-komisi-yudisial--hakim-bisa-saja-salah-mengerti-soal-iptek
  • Kasus Sewa Pesawat Merpati. Kasus ini bermula dari kecelakaan salah satu pesawat Merpati di Papua yang menewaskan kurang lebih 20-an penumpangnya. Kemudian kejaksaan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap proses pengadaan pesawat. Walaupun terkesan aneh dengan alasan pemeriksaan ke bagian proses pengadaan oleh pihak kejaksaan, namun hal ini mungkin bisa dimengerti jika ditengarai ada masalah korupsi di sana. Pada kenyataannya, pihak kejaksaan tidak menyentuh substansi dari penyebab jatuhnya pesawat namun fokus pada proses pengadaan yang telah sesuai dengan aturan yang berlaku. KPK pernah mengkaji kasus ini namun tidak memprosesnya karena tidak cukup bukti. Vonis bebas Hotasi Nababan, pemegang gelar master dari salah satu kampus terbaik di Indonesia (ITB) dan di muka bumi (MIT), adalah sebuah mukjizat dan titik cerah di dalam carut marutnya penegakan hukum negeri ini. Karena biasanya jika sudah memasuki ranah korupsi, hakim cenderung untuk menutup mata  dan ketakutan memutus bebas suatu perkara korupsi. Walaupun pada kenyataannya tidak ada unsur kerugian Negara disana. Hakim pemutus perkara Hotasi adalah Pribadi yang rasional dan berkarakter. Link bisa dilihat dibawah.
  • Sparepart Gas Turbin PLN Belawan. Ada dua kasus Gas Turbin Belawan yang saat ini ditangani oleh Kejagung. Kedua kasus yg mengabaikan kecerdasan masyarakat. Untuk kasus pertama, 5 orang karyawan PLN dipenjarakan karena pemasok (kontraktor) mereka dianggap mengirim 'barang palsu' yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ada di kontrak. Walaupun telah dibantah oleh 'principal' (Siemen) bahwa  suku cadang dimaksud adalah asli dan versi upgrade, tapi kejaksaan agung menafikan hal ini. Sementara itu Kontraktornya sendiri tidak diperiksa (DPO) dan laporan didasarkan pada laporan LSM yang merasa dirugikan. Dalam pemahaman awam, bahwa ini harusnya masuk dalam ranah perdata karena terkait kontraktual. Tuntutan jaksa yang mensyaratkan survey ke Jerman untuk penyusunan HPS adalah tuntutan yang tidak tepat karena bertentangan dengan prinsip dasar pengadaan efisiensi dan efektifitas. Jika persyaratan survey ini adalah kewajiban, bisa dipastikan hampir semua pelaku proses pengadaan di BUMN harus di Penjara karena tuduhan korupsi. Akibat kasus ini gas turbin terkait tidak boleh dioperasikan dan dampaknya adalah produksi listrik di sumbagut pada titik nadir. Disamping itu, kasus ini menjadi momok menakutkan buat pengadaan suku cadang PLN karena tidak ada jaminan bahwa pekerja ataupun pejabat yang berhubungan dengan perawatan dan operasi dapat bekerja de ngan profesional. Pada akhirnya Masyarakat dirugikan karena listrik hidup mati setiap hari dan negara dirugikan 5 Milyar perhari karena disitanya turbin yg merupakan penghasil utama listrik sumbagut.
Kesamaan dari kasus yang ditangani oleh Kejagung di atas adalah, adanya pelaporan dari LSM atau individu yang mengatasnamakan LSM kepada oknum kejaksaan. Individu pelapor adalah pihak-pihak yang memiliki ‘interest’ di perusahaan tersebut dan ditengarai terjadi konspirasi antara pihak kejaksaan. Entah secara kebetulan, jaksa dari 3 kasus di atas adalah orang yang sama. Dewi keadilan bangsa Romawi, Justitia, dilambangkan dengan membawa timbangan dan pedang serta sering dengan mata tertutup pita. "Justice may be blind..but it can see in the dark". Keadilan tidak mengenal stigma, hakim harus jauh dari praduga dan jaksa seharusnya fokus pada proses penuntutan. Karena proses penyelidikan dan penyidikan sudah sepatutnya diserahkan kepada lembaga lain (kepolisian) supaya tidak  terjadi tumpang tindih dan kejaksaan menjadi sarang konspirasi para mafia korupsi.
Mari kita doakan semoga Tuhan membersihkan lembaga kejaksaan dari oknum-oknum yang berkonspirasi menzalimi karyawan-karyawan biasa dan memberikan kebijaksanaan sejati yang paripurna seperti yang terpapar di seloka kejagung “Satya Adi Wicaksana”. Dan semoga lembaga kehakiman mampu menjadi penjaga tapal batas keadilan yang sangat kabur dan tak jelas di masa penuh dengan fitnah dan keragu-raguan ini.