Jumat, 25 September 2015

Kapolri: Jangan atas Dasar Surat Kaleng, Kemudian Lakukan Penyelidikan

TRIBUN-MEDAN.com, SEMARANG - Kepala Kepolisian RI Jendral Badroddin Haiti mengingatkan kepada jajaran di bawahnya untuk tidak bermain-main dalam penyelidikan sebuah perkara. Jika mendapati laporan yang tidak jelas sumbernya, ia minta hal tersebut tak boleh dilakukan pemeriksaan.
“Sebelum turun (menyelidiki) data awalnya harus sudah ada. Jangan atas dasar surat kaleng, SMS, kemudian dilakukan penyelidikan,” kata Badrodin di depan kepala daerah dan Muspika se-Jawa Tengah di Semarang, Selasa (22/9/2015).
Berdasarkan pengalaman sebelumnya, para penyidik berbekal laporan yang masuk memeriksa terlapor, kemudian memeriksa saksi-saksi lainnya.
“Yang seperti ini tak boleh dilakukan, itu namanya mencari-cari kesalahan. Kalau mau menangani suatu perkara harus punya data konkret, agar jelas langkahnya dan pasti,” ucap Badrodin.
Kendati demikian, ia yakin di Jawa Tengah, anggota kepolisian tidak mempraktekkan hal tersebut. Salah satu keyakinannya karena Kapolda Jawa Tengah Irjen Nur Ali saat menjabat Direktur Kriminal Khusus biasanya mengusut kasus dilengkapi dengan data yang komplit.
“Di Jateng pasti bisa. Sekali lagi, harus bisa membatasi hal-hal seperti itu,” ucapnya.
Hal yang sama disampaikan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Bagi dia, aparat hukum, baik kejaksaan dan kepolisian telah bersepakat untuk tidak saling masuk dalam satu perkara sama, jika tak mempunyai alat bukti yang cukup. Jika satu pihak telah mengusut perkara, pihak lainnya tidak boleh ikutan memeriksa.
Kendati begitu, polisi maupun jaksa tetap diminta menyelesaikan persoalan yang sudah jelas alat buktinya. Mendagri juga meminta polisi maupun jaksa jika ingin menangkap bupati/wali kota atau pejabat SKPD, setidaknya memberitahu gubernur.
“Minimal bagi kapolda atau kajati beritahu gubernur. Jangan sampai bupati atau wali kota atau SKPD diperiksa, kalau dari mereka mau di-'sekolah'-kan, ya diberitahu,” ujar Tjahjo.
Pemberitahuan pada atasan, lanjut dia, bukan merupakan sebuah intervensi pada penegak hukum. “Ini bukan intervensi, tapi harus tahu. Saya itu stress ketika ada telpon dari Mabes Polri atau dari Kejaksaan, pasti ada sesuatu. Kalau ada bukti lengkap, silakan diteruskan,” ujarnya. (*)

Rabu, 19 Agustus 2015

Implikasi UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terhadap Penyidikan Tindak Pidana Korupsi

Seiring telah diundangkannya UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan pada tanggal 17 Oktober 2014 yang lalu juga memancing diskursus tentang gugurnya kapasitas penyidik dalam menilai suatu perbuatan termasuk dalam ranah penyalahgunaan wewenang karena telah beralih kepada Pengadilan Tata Usaha Negara untuk diuji terlebih dahulu.
Apakah benar demikian adanya?
Setidaknya orang-orang yang berkesimpulan demikian mengambil pengertian tersebut dari bunyi ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Administasi Pemerintahan tersebut, yaitu sebagai berikut :
Pengadilan berwenang menerima, memeriksa, dan memutuskan ada atau tidak ada unsur penyalahgunaan Wewenang yang dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan
Sedangkan yang dimaksud dengan Pengadilan pada ayat di atas dijelaskan dalam ketentuan Pasal 1 angka 18 UU yang sama, yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara.
Frasa menyalahgunakan kewenangan/ penyalahgunaan wewenang dapat kita temukan dalam rumusan Pasal 3 UU PTPK, yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut :
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Dengan demikian unsur “menyalahgunakan kewenangan” sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diartikan memiliki pengertian yang sama dengan “penyalahgunaan kewenangan” sebagaimana disebut dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, atau lebih jauh lagi bahwa ketentuan dalam Pasal 21 ayat (1) UU RI Nomor 30 Tahun 2014 tersebut dianggap telah mencabut kewenangan yang dimiliki penyidik dalam melakukan penyidikan dalam rangka mengetahui apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh seorang tersangka selaku pejabat pemerintahan yang mana menurut hal tersebut seharusnya menjadi objek untuk diuji terlebih dahulu di Peradilan Tata Usaha Negara.
Sesungguhnya diskursus ini hanya mengulang kembali perdebatan lama di antara para ahli hukum tentang adanya keterkaitan antara hukum administrasi negara dengan hukum pidana yang dalam hal ini khususnya mengenai tindak pidana korupsi. Keterkaitan tersebut menimbulkan kesulitan dalam membedakan kapan seorang aparatur negara itu melakukanperbuatan melawan hukum yang masuk dalam ruang lingkup hukum pidana dan kapan dapat dikatakan melakukan penyalahgunaan wewenang yang masuk dalam ruang lingkup hukum administrasi negara.
Penyalahgunaan kewenangan mempunyai karakter atau ciri :
  1. Menyimpang dari tujuan atau maksud dari suatu pemberian kewenangan;
  2. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas legalitas;
  3. Menyimpang dari tujuan atau maksud dalam kaitannya dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik;
Secara substansial, asas spesialitas (specialialiteit beginsel) mengandung makna bahwa setiap kewenangan memiliki tujuan tertentu. Penyimpangan terhadap asas ini akan melahirkan penyalahgunaan kewenangan (detournement de pouvoir). Parameter peraturan perundang-undangan maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik dipergunakan untuk membuktikaninstrumen atau modus penyalahgunaan kewenangan (penyalahgunaan kewenangan dalam Pasal 3 UUPTPK), sedangkan penyalahgunaan kewenangan baru dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana apabila berimplikasi terhadap kerugian negara atau perekonomian negara (kecuali untuk tindak pidana korupsi suap, gratifikasi, dan pemerasan), Tersangka mendapat keuntungan, masyarakat tidak dilayani, dan perbuatan tersebut merupakan tindakan tercela.
Pada kenyataannya, tanpa bermaksud untuk ikut larut dalam perdebatan akademis tersebut, sesungguhnya hukum pidana menganut prinsip “personal responsibility” yang artinya tanggung jawab pidana adalah tanggung jawab pribadi. Hal ini secara langsung telah memberi garis batas yang jelas dalam hal ditemukan adanya “wilayah abu-abu” dalam peririsan antara hukum administrasi dengan hukum pidana. Pada hukum administrasi berlaku prinsip pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan), sedangkan dalam hukum pidana berlaku prinsip pertanggungjawaban pribadi (personal responsibility). Dalam hal ini penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh aparatur negara dengan tujuan-tujuan yang tidak dibenarkan dan khususnya untuk tindak pidana korupsi penyalahgunaan wewenang tersebut mengakibatkan kerugian negara atau perekonomian negara maka hal tersebut merupakan perbuatan melawan hukum yang dipertanggung jawabkan secara pribadi dan masuk ruang lingkup hukum pidana.
Untuk memberi kesimpulan yang jelas bahwa pengertian “penyalahgunaan wewenang” sebagaimana termuat dalam ketentuan Pasal 3 UUPTPK tidak bisa ditafsirkan secara paralel melalui ketentuan di luar hukum pidana marilah kita simak Putusan Mahkamah Agung RI No. 979 K/Pid/2004 yang mana salah satu pertimbangannya berbunyi sebagai berikut :
Menimbang, bahwa sehubungan dengan unsur tindak pidana tersebut, terlebih dahulu perlu dikemukakan pendapat-pendapat Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H. dalam makalahnya “Antara Kebijakan Publik” (Publiek Beleid, Azas Perbuatan Melawan Hukum Materiel dalam Prespektif Tindak Pidana Korupsi di Indonesia)” yang pada pokoknya adalah Pengertian “menyalahgunakan wewenang” dalam hukum pidana, khususnya dalam tindak pidana korupsi tidak memiliki pengertian yang eksplisitas sifatnya. Mengingat tidak adanya eksplisitas pengertian tersebut dalam hukum pidana, maka dipergunakan pendekatan ektensif berdasarkan doktrin yang dikemukakan oleh H.A. Demeersemen tentang kajian “De Autonomie van het Materiele Strafrecht” (Otonomi dari hukum pidana materiel). Intinya mempertanyakan apakah ada harmoni dan disharmoni antara pengertian yang sama antara hukum pidana, khususnya dengan Hukum Perdata dan Hukum Tata Usaha Negara, sebagai suatu cabang hukum lainnya. Di sini akan diupayakan keterkaitan pengertian yang sama bunyinya antara cabang ilmu hukum pidana dengan cabang ilmu hukum lainnya. Apakah yang dimaksud dengan disharmoni dalam hal-hal dimana kita memberikan pengertian dalam Undang-Undang Hukum Pidana dengan isi lain mengenai pengertian yang sama bunyinya dalam cabang hukum lain, ataupun dikesampingkan teori, fiksi dan konstruksi dalam menerapkan hukum pidana pada cabang hukum lain. Kesimpulannya dikatakan bahwa mengenai perkataan yang sama, Hukum Pidana mempunyai otonomi untuk memberikan pengertian yang berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam cabang ilmu hukum lainnya, akan tetapi jika hukum pidana tidak menentukan lain, maka dipergunakan pengertian yang terdapat dalam cabang hukum lainnya. Dengan demikian apabila pengertian “menyalahgunakan kewenangan” tidak ditemukan eksplisitasnya dalam hukum pidana, maka hukum pidana dapat mempergunakan pengertian dan kata yang sama yang terdapat atau berasal dari cabang hukum lainnya;

Senin, 17 Agustus 2015

Tulisan Menarik dari Kompasiana tentang APH

Dua lembaga negara yang aktif dalam membawa para pelaku korupsi dan yang diduga melakukan tindak korupsi adalah Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua lembaga ini memiliki kesamaan tanggung jawab dalam pemberantasan tipikor, namun memiliki perbedaan pendekatan dalam memerangi korupsi. KPKumumnya melakukan pendekatan 'keras', dimana tersangka korupsi terbukti tertangkap tangan, kemudian baru diajukan ke pengadilan. Dua contoh terakhir, Rudy Rubiandini dan Akil Mukhtar petinggi lembaga bergengsi, 'tertangkap basah' menerima 'gratifikasi' ratusan ribu dolar. Alat bukti jelas dan meyakinkan, baru kemudian di proses. Untuk kasus yang sifatnya agak "abu-abu" KPK butuh waktu yang agak lama untuk mengumpulkan bukti-bukti dan cenderung untuk lebih berhati-hati, sebagai contoh: Hambalang dan Century.

Sementara kejagung mengandalkan pada laporan dari pihak lain(umumnya LSM atau perseorangan) dan kemudian mengembangkan kasus berdasarkan laporan tersebut tanpa melihat apakah terduga 'benar-benar' melakukan tindakan korupsi atau tidak. Kasus-kasus yang kita baca di media seperti, Bioremediasi Chevron, frekuensi IM2, Merpati, pengadaan spare part PLN medan dan terakhir kasus perumahan bupati.
Secara awam kita bisa melihat dua perbedaan yg mendasar, dimana satu lembaga menggunakan alat bukti jelas dan satu lembaga lain menggunakan laporan pihak ketiga yg umumnya didasarkan laporan dari pihak yg kalah dalam tender di organisasi tersebut.
  • Bioremediasi Chevron. Secara gamblang dan terang dijelaskan bahwa tidak terdapat penyelewengan oleh pihak chevron oleh institusi yg berwenang spt SKK Migas, Migas dan KLH, namun pihak kejagung mengangkat kasus ini dengan mengandalkan laporan seorang 'saksi ahli' yg ternyata adalah pihak yg kalah tender dalam proses lelang bioremediasi. Pengadilan pertama, sebagaimana kita ketahui, para terdakwa, beberapa malah tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan bioremediasi telah diputuskan bersalah oleh pengadilan negri. Saat ini para terdakwa mengupayakan banding. Akibat kasus ini, proses bioremediasi Chevron dihentikan yang tentu saja berdampak pada isu lingkungan dari kegiatan produksi MIGAs.
dan masih banyak link yang memberikan pemahaman yang komperhensif untuk kasus ini.
  • Frekuensi IM2. Ini adalah kasus 'yg aneh' bin ajaib. Entah bagian mana yg dianggap merugikan negara, karena berdasarkan sidang di pengadilan tidak ada keuangan negara yang ditilap. Potensi kerugian negara dihitung berdasarkan hitungan menghina logika berpikir.  Walaupun mentri telekomunikasi menyatakan tidak terdapat pelanggaran dan juga masyarakat telekomunikasi sepakat menyatakan tidak ada kerugian dalam penggunaan frekuensi ini, tp kejagung tetap melanjutkan kasus ini. Pelapor kasus ini adalah terpidana 'pemeras' perusahaan Indosat dan telah divonis 16 bulan penjara oleh PN Jakarta. Lebih lengkap mengenai kasus ini boleh digoogle di kompasiana, salah satunya link ini:
  1. http://hukum.kompasiana.com/2013/06/05/salah-tafsir-jaksa-dan-penerapan-hukum-yang-keliru-pada-kasus-im2-indosat-562428.html
  2. http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/429743-komisi-yudisial--hakim-bisa-saja-salah-mengerti-soal-iptek
  • Kasus Sewa Pesawat Merpati. Kasus ini bermula dari kecelakaan salah satu pesawat Merpati di Papua yang menewaskan kurang lebih 20-an penumpangnya. Kemudian kejaksaan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap proses pengadaan pesawat. Walaupun terkesan aneh dengan alasan pemeriksaan ke bagian proses pengadaan oleh pihak kejaksaan, namun hal ini mungkin bisa dimengerti jika ditengarai ada masalah korupsi di sana. Pada kenyataannya, pihak kejaksaan tidak menyentuh substansi dari penyebab jatuhnya pesawat namun fokus pada proses pengadaan yang telah sesuai dengan aturan yang berlaku. KPK pernah mengkaji kasus ini namun tidak memprosesnya karena tidak cukup bukti. Vonis bebas Hotasi Nababan, pemegang gelar master dari salah satu kampus terbaik di Indonesia (ITB) dan di muka bumi (MIT), adalah sebuah mukjizat dan titik cerah di dalam carut marutnya penegakan hukum negeri ini. Karena biasanya jika sudah memasuki ranah korupsi, hakim cenderung untuk menutup mata  dan ketakutan memutus bebas suatu perkara korupsi. Walaupun pada kenyataannya tidak ada unsur kerugian Negara disana. Hakim pemutus perkara Hotasi adalah Pribadi yang rasional dan berkarakter. Link bisa dilihat dibawah.
  • Sparepart Gas Turbin PLN Belawan. Ada dua kasus Gas Turbin Belawan yang saat ini ditangani oleh Kejagung. Kedua kasus yg mengabaikan kecerdasan masyarakat. Untuk kasus pertama, 5 orang karyawan PLN dipenjarakan karena pemasok (kontraktor) mereka dianggap mengirim 'barang palsu' yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ada di kontrak. Walaupun telah dibantah oleh 'principal' (Siemen) bahwa  suku cadang dimaksud adalah asli dan versi upgrade, tapi kejaksaan agung menafikan hal ini. Sementara itu Kontraktornya sendiri tidak diperiksa (DPO) dan laporan didasarkan pada laporan LSM yang merasa dirugikan. Dalam pemahaman awam, bahwa ini harusnya masuk dalam ranah perdata karena terkait kontraktual. Tuntutan jaksa yang mensyaratkan survey ke Jerman untuk penyusunan HPS adalah tuntutan yang tidak tepat karena bertentangan dengan prinsip dasar pengadaan efisiensi dan efektifitas. Jika persyaratan survey ini adalah kewajiban, bisa dipastikan hampir semua pelaku proses pengadaan di BUMN harus di Penjara karena tuduhan korupsi. Akibat kasus ini gas turbin terkait tidak boleh dioperasikan dan dampaknya adalah produksi listrik di sumbagut pada titik nadir. Disamping itu, kasus ini menjadi momok menakutkan buat pengadaan suku cadang PLN karena tidak ada jaminan bahwa pekerja ataupun pejabat yang berhubungan dengan perawatan dan operasi dapat bekerja de ngan profesional. Pada akhirnya Masyarakat dirugikan karena listrik hidup mati setiap hari dan negara dirugikan 5 Milyar perhari karena disitanya turbin yg merupakan penghasil utama listrik sumbagut.
Kesamaan dari kasus yang ditangani oleh Kejagung di atas adalah, adanya pelaporan dari LSM atau individu yang mengatasnamakan LSM kepada oknum kejaksaan. Individu pelapor adalah pihak-pihak yang memiliki ‘interest’ di perusahaan tersebut dan ditengarai terjadi konspirasi antara pihak kejaksaan. Entah secara kebetulan, jaksa dari 3 kasus di atas adalah orang yang sama. Dewi keadilan bangsa Romawi, Justitia, dilambangkan dengan membawa timbangan dan pedang serta sering dengan mata tertutup pita. "Justice may be blind..but it can see in the dark". Keadilan tidak mengenal stigma, hakim harus jauh dari praduga dan jaksa seharusnya fokus pada proses penuntutan. Karena proses penyelidikan dan penyidikan sudah sepatutnya diserahkan kepada lembaga lain (kepolisian) supaya tidak  terjadi tumpang tindih dan kejaksaan menjadi sarang konspirasi para mafia korupsi.
Mari kita doakan semoga Tuhan membersihkan lembaga kejaksaan dari oknum-oknum yang berkonspirasi menzalimi karyawan-karyawan biasa dan memberikan kebijaksanaan sejati yang paripurna seperti yang terpapar di seloka kejagung “Satya Adi Wicaksana”. Dan semoga lembaga kehakiman mampu menjadi penjaga tapal batas keadilan yang sangat kabur dan tak jelas di masa penuh dengan fitnah dan keragu-raguan ini.

Jumat, 12 Juni 2015

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU) Nomor 14/PRT/M/2013

Salah satu peraturan yang paling ditunggu-tunggu di Indonesia adalah peraturan Menteri Pekerjaan Umum (Permen PU). Hal ini karena banyak pengadaan barang/jasa pemerintah dalam bidang jasa konstruksi yang pelaksanaan pengadaannya tetap harus berpedoman pada aturan Pekerjaan Umum sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Pada bulan Desember tahun 2013, rupanya Kementerian Pekerjaan Umum telah mengeluarkan Peraturan Menteri PU (Permen PU) Nomor 14/PRT/M/2013 yang merupakan perubahan atas Permen PU Nomor 7/PRT/M/2011 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi dan Jasa Konsultansi.
Banyak perubahan cukup mendasar dari Permen PU ini, diantaranya adalah:
Perubahan/Penambahan Definisi
  1. Menyesuaikan pengertian ULP sesuai denganPerpres 70/2012, yaitu dibentuk oleh Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Institusi dan bersifat permanen atau melekat pada unit yang sudah ada (Pasal 1 angka 6)
  2. Menambahkan pengertian Pokja ULP dan penegasan bahwa Anggota Pokja ULP terlebih dahulu ditetapkan oleh PA/KPA/Kepala Daerah (Pasal 1 angka 6a)
  3. Menegaskan bahwa pejabat pengadaan berfungsi untuk melaksanakan pengadaan langsung (Pasal 1 angka 7)
  4. Menegaskan pengertian pekerjaan konstruksi terintegrasi yang merupakan pekerjaan yang menggabungkan pekerjaan perencanaan dan pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan/atau pengadaan barang konstruksi dan/atau pengoperasian dan layanan pemeliharaan (Pasal 1 angka 12a)
  5. Menambahkan pengertian mata pembayaran utama yang merupakan mata pembayaran yang pokok dan penting yang nilai bobot kumulatifnya minimal 80% (delapan puluh per seratus) dari seluruh nilai pekerjaan, dihitung mulai dari mata pembayaran yang nilai bobotnya terbesar. (Pasal 1 angka 12b)
  6. Menegaskan bahwa kontrak kerja konstruksi selanjutnya disebut dengan kontrak dan pada Peraturan ini berlaku untuk Pekerjaan Kosntruksi dan Jasa Konsultansi (Pasal 1 angka 13)
Pemilihan Penyedia Secara Elektronik
  1. Pelaksanaan pemilihan Penyedia Barang/Jasa di lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dilaksanakan secara full e- procurement
  2. Khusus untuk Papua dan Papua Barat, kewajiban full e-proc hanya di Ibukota Provinsi
  3. Pelaksanaan pemilihan Penyedia Barang/Jasa di luar Kementerian Pekerjaan Umum dilaksanakan berdasarkan ketentuan K/L/D/I bersangkutan
Usaha Kecil dan Penyedia Perorangan
  1. Nilai paket pekerjaan konstruksi sampai dengan Rp 2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah), diperuntukkan bagi usaha kecil, kecuali untuk paket pekerjaan yang menuntut kompetensi teknis yang tidak dapat dipenuhi oleh usaha kecil.
  2. Nilai paket pekerjaan Jasa Konsultansi sampai dengan Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) diperuntukkan bagi usaha kecil
  3. Jasa konsultansi dapat dilakukan oleh konsultan perorangan dengan nilai sampai dengan Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta  rupiah)
Penerbit Jaminan
  1. Paket pekerjaan konstruksi ? Rp 2,5 Miliar dan jasa konsultansi ? Rp 750 juta menggunakan surat jaminan ? Bank Umum/Perusahaan Penjaminan/Perusahaan Asuransi, bersifat mudah dicairkan dan tidak bersyarat (unconditional) dengan substansi sesuai yang tercantum dalam dokumen pengadaan.
  2. Paket pekerjaan konstruksi > Rp 2,5 Miliar dan jasa konsultansi > Rp 750 juta menggunakan surat jaminan ? Bank Umum.
Pengadaan di Papua dan Papua Barat
  1. Paket pengadaan pekerjaan konstruksi ? Rp500 Juta dapat dilaksanakan dengan mekanisme pengadaan langsung untuk Papua dan Papua Barat
  2. Paket pengadaan pekerjaan konstruksi ? Rp 1 M dapat dilaksanakan dengan mekanisme pengadaan langsung untuk Kabupaten Nduga, Kabupaten Yahukimo, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Puncak, Kabupaten Tolikora, Kabupaten Memberamo Tengah, Kabupaten Yalimo, Kabupaten Pegunungan Bintang, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Paniai, Kabupaten Jayawijaya, dan Kabupaten Lani Jaya
  3. Pengusaha lokal yang mengikuti pengadaan langsung tidak diwajibkan memiliki pengalaman sebagai penyedia barang/jasa dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir.
  4. Paket pengadaan pekerjaan konstruksi ? Rp5 M harus bermitra dengan pengusaha lokal melalui kerjasama operasi/kemitraan dan pengusaha lokal tidak diwajibkan memiliki kemampuan dasar.
  5. Paket pengadaan pekerjaan konstruksi > Rp 5 M Pokja ULP tidak boleh melarang, menghambat, dan membatasi keikutsertaan calon penyedia dari luar provinsi dan/atau Kabupaten/Kota, namun agar memprioritaskan yang bekerjasama dengan pengusaha lokal.
Pekerjaan Konstruksi yang Kompleks
Dalam hal pengadaan pekerjaan konstruksi yang bersifat kompleks, terintegrasi, atau bernilai di atas Rp 100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah), harus menggunakan persyaratan/kriteria evaluasi teknis yang ditetapkan terlebih dahulu oleh Pejabat Eselon I terkait untuk menghindari persyaratan/kriteria yang diskriminatif dan/atau pertimbangan yang tidak obyektif.
Evaluasi Penawaran Harga
  1. Evaluasi dokumen penawaran harus berdasarkan pada pedoman evaluasi penawaran dan ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan
  2. Pada pengadaan Pekerjaan Konstruksi, untuk harga penawaran yang nilainya di bawah 80% (delapan puluh perseratus) HPS, wajib dilakukan evaluasi kewajaran harga
  3. Apabila total harga penawaran yang diusulkan lebih kecil dari hasil evaluasi sebagaimana dimaksud, maka harga penawaran dinyatakan tidak wajar dan gugur harga.
  4. Apabila total harga penawaran lebih besar dari hasil evaluasi sebagaimana dimaksud, maka harga penawaran dinyatakan wajar dan apabila peserta tersebut ditunjuk sebagai pemenang pelelangan, harus bersedia untuk menaikkan Jaminan Pelaksanaan menjadi 5% (lima perseratus) dari nilai total HPS.
Tahapan Evaluasi Penawaran Harga
  1. Penyedia jasa diminta menjelaskan terhadap kuantitas/koefisien yang dimasukkan dalam analisa harga satuan.Analisa Harga Satuan
  2. Apabila pada penjelasannya sudah diyakini dapat memenuhi persyaratan dan dapat memenuhi spesifikasi teknis, maka kuantitas/koefisien tersebut dapat digunakan.
  3. Jika tidak dapat diterima, maka Pokja dan penyedia jasa menelaah kuantitas/koefisien agar dapat diyakini bersama dapat memenuhi persyaratan dan dapat memenuhi spesifikasi teknis. Kuantitas/koefisien yang diperoleh menjadi kuantitas/koefisien hasil klarifikasiForm Klarifikasi Harga
  4. Penyedia jasa harus dapat membuktikan harga satuan dasar upah, bahan dan peralatan yang ditawarkan, dengan melampirkan data-data sebagai pembuktian. Hal ini dilakukan agar dapat meyakini bahwa harga satuan dasar tersebut dapat direalisasikan.
  5. Jika penyedia jasa tidak dapat membuktikan, maka dicari harga satuan dasar yang ada di pasaran.
  6. Dari angka 1 dan 2 di atas diperoleh kuantitas/koefisien dan harga satuan dasar hasil klarifikasi selanjutnya dapat dihitung harga satuan hasil klarifikasi untuk setiap mata pembayaran utama tidak perlu dihitung dengan keuntungannya.
  7. Kemudian dihitung untuk setiap harga satuan penawaran yang bukan Mata PembayaranUtama dengan mengurangi biaya keuntungan, sehingga diperoleh harga satuan penawaran yang bukan Mata Pembayaran Utama tanpa keuntungan.
  8. Harga yang diperoleh pada angka 5, 6 dan 7, dimasukkan dalam tabel Daftar Kuantitas dan Harga hasil klarifikasi sehingga didapat total harga sebenarnya tanpa keuntungan yang wajar/rill dapat dilaksanakan.
  9. Bandingkanlah total harga pada daftar kuantitas dan harga hasil klarifikasi dengan total harga penawaran tanpa PPn.
  10. Jika total harga hasil klarifikasi kurang dari total harga penawaran, maka harga dinyatakan wajar dan jaminan pelaksanaan dinaikkan sebesar 5% dari nilai total HPS. Namun jika total harga hasil klarifikasi lebih dari total harga penawaran, maka harga dinyatakan tidak wajar dan penawaran dinyatakan gugur.
Peralatan dan Personil Yang Sama
  1. Dalam hal Penyedia mengikuti beberapa paket pekerjaan konstruksi dalam waktu bersamaan dengan menawarkan peralatan yang  sama untuk beberapa paket yang diikuti dan dalam evaluasi memenuhi persyaratan pada masing-masing paket pekerjaan, maka hanya dapat ditetapkan sebagai pemenang pada 1 (satu) paket pekerjaan dengan cara melakukan klarifikasi untuk menentukan peralatan tersebut akan ditempatkan, sedangkan untuk paket pekerjaan lainnya dinyatakan peralatan tidak ada dan dinyatakan gugur.
  2. Ketentuan hanya dapat ditetapkan sebagai pemenang pada 1 (satu) paket pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat dikecualikan dengan syarat kapasitas dan produktifitas peralatan secara teknis dapat menyelesaikan pekerjaan lebih dari 1 (satu) paket.
  3. Dalam hal Penyedia mengikuti beberapa paket pekerjaan konstruksi atau jasa konsultansi dalam waktu bersamaan dengan menawarkan personil yang sama untuk beberapa paket yang diikuti dan dalam evaluasi memenuhi persyaratan pada masing-masing paketpekerjaan, maka hanya dapat ditetapkan sebagai pemenang pada 1 (satu) paket pekerjaan dengan cara melakukan klarifikasi untuk menentukan personil tersebut akan ditempatkan, sedangkan untuk paket pekerjaan lainnya personil dinyatakan tidak ada dan dinyatakan gugur.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3)
  1. Identifikasi bahaya dan tingkat risiko K3 pada pekerjaan yang dapat timbul dalam pelaksanaan harus dicantumkan dalam dokumen pengadaan pekerjaan konstruksi.
  2. Evaluasi teknis Rencana Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi (RK3K) dilakukan terhadap sasaran dan program K3 untuk pengendalian risiko bahaya K3.
  3. Hal ini berarti, RK3K dapat menggugurkan penawaran pada tahap evaluasi teknis apabila telah ditetapkan dalam dokumen pengadaan.
Sanggahan Banding pada Evaluasi Ulang
  1. Dalam hal jawaban sanggahan banding menyatakan pelelangan/seleksi gagal dan harus dilakukan evaluasi ulang, maka tidak ada sanggahan dan sanggahan banding terhadap hasil evaluasi ulang.
  2. Apabila peserta keberatan terhadap hasil evaluasi ulang dapat mengajukan pengaduan yang ditujukan kepada APIP K/L/D/I bersangkutan.
Keterlambatan Pada Akhir Tahun Anggaran
  1. Dalam hal terjadi keterlambatan dan akan melampaui tahun anggaran berjalan akibat kesalahan Penyedia Pekerjaan Konstruksi, sebelum dilakukan pemutusan kontrak Penyedia Pekerjaan Konstruksi dapat diberi kesempatan menyelesaikan pekerjaan sampai dengan 50 (lima puluh) hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan dengan diberlakukan denda sebesar 1/1000 (satu perseribu) dari nilai Kontrak atau nilai bagian Kontrak untuk setiap hari keterlambatan.
  2. Dalam hal penyelesaian pekerjaan akibat keterlambatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melampaui tahun anggaran berjalan, diterbitkan adendum untuk mencantumkan sumber dana tahun anggaran berikutnya atas sisa pekerjaan yang akan diselesaikan dan memperpanjang masa berlaku jaminan pelaksanaan.
Untuk dapat mengunduh Peraturan Menteri ini, silakan klik pada tautan berikut:
Permen PU Nomor 14/PRT/M/2013
Lampiran I Permen PU Nomor 14/PRT/M/2013
Lampiran II Permen PU Nomor 14/PRT/M/2013
Semoga bermanfaat
atau liat link ini :) http://www.mudjisantosa.net/2012/11/k3.html#more
atau http://www.mudjisantosa.net/2012/05/evaluasi-teknis.html
atau http://www.mudjisantosa.net/2013/02/konsultan-manejemen-konstruksi.html#more
atau http://www.mudjisantosa.net/2012/05/sertifikat-manajemen-mutu-iso-dalam.html#more

Selasa, 28 April 2015

UU No. 30/2014: Inilah Hak, Kewajiban, dan Diskresi Pejabat Pemerintahan

Sidang Paripurna DPR-RI pada Jumat (26/9) lalu telah menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Administrasi Pemerintahan untuk disahkan sebagai Undang-Undang. Setelah disahkan oleh Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, pada 17 Oktober 2014, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) saat itu, Amir Syamsudin.
Kehadiran UU yang terdiri atas 89 pasal ini dimaksudkan untuk menciptakan tertib penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan, menciptakan kepastian hukum, mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang, menjamin akuntabilitas Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan, memberikan perlindungan hukum kepada Warga Masyarakat dan aparatur pemerintahan, melaksanakan ketentuan peraturan peraturan perundang-undangan dan menerapkan Azas-azas Umum Pemerintahan Yang Baik (AUPB), dan memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada Warga Masyarakat.
Padal 6 UU ini menyebutkan, Pejabat Pemerintahan memiliki hak untuk menggunakan Kewenangan dalam mengambil Keputusan dan/atau Tindakan, yang di antaranya meliputi: a. Menyelenggarakan aktivitas pemerintahan berdasarkan Kewenangan yang dimiliki; b. Menetapkan Keputusan berbentuk tertulis atau elektronis dan/atau menetapkan Tindakan; c. Menerbitkan atau tidak menerbitkan, mengubah, mengganti, mencabut, menunda, dan/atau membatalkan Keputusan dan/atau Tindakan.
Selain itu juga: d. Menggunakan Diskresi sesuai dengan tujuannya; e. Menunjuk pelaksana harian atau pelaksana tugas untuk melaksanakan tugas apabila pejabat definitif berhalangan; f. Menerbitkan Izin, Dispensasi, dan/atau Konsesi sesuai dengan ketentuan; g. Memperoleh perlindungan hukum dan jaminan keamanan; h. Memperoleh bantuan hukum dalam pelaksanaan tugasnya; dan i. Menyelesaikan Upaya Administratif yang diajukan masyarakat atas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuatnya.
“Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk menyelenggarakan Administrasi Pemerintahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kebijakan pemerintahan, dan AUPB,” bunyi Pasal 7 UU ini.
Adapun kewajiban Pejabat Pemerintahan yang diatur UU ini di antaranya: a. Membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan kewenangannya; b.mematuhi persyaratan dan prosedur pembuatan Keputusan dan/atau Tindakan; c. Mematuhi UU ini dalam menggunakan Diskresi; d. Memberikan kesempatan kepada Warga Masyarakat untuk didengar pendapatnya sebelum membuat Keputusan dan/atau Tindakan sesuai dengan ketentuan; e. Memberitahukan kepada Warga Masyarakat yang berkaitan dengan Keputusan dan/atau Tindakan yang menimbulkan kerugian paling lama 10 (Sepuluh) hari kerja terhitung sejak Keputusan dan/atau Tindakan ditetapkan dan/atau dilakukan.
Selain itu juga: f. Memeriksa dan meneliti dokumen Administrasi Pemerintahan, serta membuka akses dokumen Administrasi Pemerintahan kepada Warga Masyarakat, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang; g. Menerbitkan Keputusan terhadap permohonan Warga Masyarakat, sesuai dengan hal-hal yang diputuskan dalam keberatan/banding; dan i. Melaksanakan Keputusan dan/atau Tindakan yang sah dan Keputusan yang telah dinyatakan tidak sah atau dibatalkan oleh Pengadilan, pejabat yang bersangkutan, atau pejabat atasan, “Dan mematuhui putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap”.
UU ini menegaskan, bahwa wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh: a. Masa atau tenggang waktu Wewenang; b. wilayah atau daerah berlakunya Wewenang; dan c. Cakupan bidang atau materi Wewenang.
“Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang telah berakhir masa atau tenggang waktu Wewenang tidak dibenarkan mengambil Keputusan dan/atau Tindakan,” bunyi Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Nomor30 Tahun 2014 ini.
Diskresi
Undang-Undang ini juga mengatur masalah Diskresi atau Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
Menurut UU ini, Diskresi hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan yang berwenang, dengan tujuan untuk: a. Melancarkan penyelenggaraan pemerintahan; b. Mengisi kekosongan hukum; dan c. Mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
Diskresi dimaksud meliputi: a. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang memberikan suatu pilihan Keputusan dan/atau Tindakan; b. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena peraturan perundang-undangan tidak mengatur; c. Pengambil Keputusan dan/atau Tndakan karena peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas; dan d. Pengambilan Keputusan dan/atau Tindakan karena adanya stagnasi pemerintahan guna kepentingan yang lebih luas.
“Pejabat Pemerintahan yang menggunakan Diskresi harus memenuhi syarat sesuai dengan tjuan Diskresi, tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan AUPB, berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak menimbulkan Konflik Kepentingan, dan dilakukan dengan itikad baik,” bunyi Pasal 24 UU ini.
Adapun penggunaan Diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Persetujuan dimaksud dilakukan apabila penggunaan Diskresi menimbulkan akibat hukum yang berpotensi membebani keuangan negara. (Pusdatin/ES)

Rabu, 22 April 2015

Cara Mendidik Anak

Salah siapa jika Anak tumbuh nakal, mental buruk? semoga orang tua tidak salah mendidik anak, mulai dari rahim sampai usia 18 tahun.
Ada beberapa tahap mendidik anak pada masa tersebut seperti dianjurkan Rasulullah SAW.
Berikut ini, tahap mendidik tersebut, seperti dilansir Keluargacinta.com dari buku Athfalul Muslimin Kaifa Rabbahum Nabi al Amin karya Jamal Abdurrahman:
Tahap 1, Sebelum Anak Lahir Sampai Usia 3 Tahun.
Mendoakan calon bayi
Mendoakan dan memberikan perhatian saat anak dalam kandungan
Mendoakan saat bayi hendak lahir
Menyambut bayi dengan azan
Men-tahniq bayi
Mengajarkan atau memperdengarkan zikir dan doa kepada bayi
Mengeluarkan zakat (fitrah) sejak ia lahir
Menyayanginya
Memberinya nama yang baik pada usia 7 hari
Melaksanakan aqiqah pada usia 7 hari
Mencukur rambutnya dan bersedekah setara dengan berat rambut pada usia 7 hari
Bercanda dengan bayi
Menyebut anak dalam gelar orang tua
Meng-khitan
Menggendong bayi
Menanamkan tauhid sejak dini
Memperhatikan penampilan dan gaya rambutnya
Mengajarkan cara berpakaian
Selalu menghadirkan wajah ceria kepadanya
Menciumnya dengan penuh kasih sayang
Bercanda dan bermain dengan anak-anak
Memberi hadiah
Mengusap kepalanya sebagai bentuk kasih sayang
Mengajarkan dan meneladankan kejujuran pada anak.
Tahap II: Usia 4-10 Tahun
Membiasakan panggilan kasih sayang dengan nada lembut
Menemaninya bermain dan belajar
Mengajaknya berjalan sambil belajar
Memberikan kesempatan yang cukup untuk bermain
Menghargai permainannya
Menanamkan akhlak mulia
Mendoakannya
Mengajaknya berkomunikasi secara intensif dan minta pendapatnya
Mengajarkan amanah dan menjaga rahasia
Membiasakan makan bersama
Mengajarkan adab makan
Mengajarkan persaudaraan dan kerja sama
Melerai ketika anak-anak bertengkar
Melatih kecerdasannya dengan lomba dan cara lainnya
Memberikan hadiah kepada anak yang berhasil melakukan sesuatu atau berprestasi
Menjaga anak dengan zikir dan mengajarinya berzikir
Mengajarkan azan dan shalat
Mengajarkannya berani karena benar
Jika anak mampu, boleh ditunjuk sebagai imam.

Tahap III, Anak Usia 10-14 tahun
Membiasakan salam
Memberikan makanan dan pakaian yang layak
Membiasakan anak tidur cepat (tidak larut malam)
Memisahkan tempat tidurnya dari orang tua dan saudara yang berbeda jenis kelamin
Mengajari adab tidur
Membiasakan anak menjaga pandangan
Membiasakan anak menutup aurat
Mengajarkan anak tidak menyerupai lawan jenis
Menyayangi, bukan memanjakan
Merawat dan mendoakan ‘ekstra’ saat anak sakit
Meluruskan kesalahan anak dengan bijak
Jika anak melanggar, berikan hukuman mendidik bukan menghukum fisik
Mengajari anak dengan praktek dan keteladanan
Mengajarkan pengobatan alami tingkat dasar
Membangun komunikasi intensif dalam forum keluarga
Mengajarkan dan membiasakan adab masuk rumah
Mengajarkan adab bertamu
Mengajarkan dan membiasakan adab masuk kamar orang tua
Membiasakan anak menghadiri undangan dan bersilaturahim
Mengajarkan anak berbuat baik kepada tetangga
Menjaga anak dari pergaulan buruk
Mengajarkan dan membiasakan adab berbicara
Mengajarkan anak menghormati ulama
Membiasakan anak mengasihi teman
Mengajarkan anak hidup sederhana
Mengajarkan anak berjuang dalam kehidupan, menghadapi ujian dan kesulitan
Tahap IV, Anak usia 15-18 tahun
Memotivasi anak memanfaatkan dan mengoptimalkan waktu pagi
Memastikan anak mengisi waktu luang dengan hal-hal positif
Menguatkan kecintaan kepada Rasulullah dan Al Qur’an
Mengarahkan anak menjadi teladan dalam pergaulan
Mengajarkan kemandirian dan menjauhi kemalasan
Lebih memperhatikan kualitas pendidikan, ilmu dan Al Qur’an
Mengajari anak bahasa asing
Mengenali pola pikir anak
Memberikan nasehat pada momen yang tepat
Mengajaknya rekreasi bersama
Mengajari anak memikul amanah dan tanggungjawab
Memberinya tugas penting
Memupuk militansi dan semangat berjuang
Menumbuhkan semangat berkompetisi
Menanamkan motivasi untuk berhaji
Memahamkan dan memotivasi untuk menikah jika telah memiliki ba’ah
Selamat meneledani. (KeluargaCinta.com).

Senin, 30 Maret 2015

Jalan Memutar Menjerat Koruptor: PTUN Dulu, Pidana Belakangan

Jakarta - Dengan lahirnya UU Administrasi Pemerintahan, kini tidak mudah menjerat para koruptor. Sebab pejabat yang diduga melakukan tindak pidana korupsi harus diadili terlebih dahulu di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan jika PTUN 'mengizinkan', maka ia baru boleh diseret ke pengadilan pidana.

"Hukum pidana bersifat ultimum remedium, hukum pidana bersifat represif sedangkan hukum administrasi negara dan hukum perdata bersifat preventif sehingga hukum pidana harus dilaksanakan setelah hukum administrasi dan hukum perdata," ucap hakim agung Supandi di Jakarta, Senin (30/3/2015).

Aturan ini tertuang dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 yaitu untuk membuktikan apakah pejabat negara telah benar-benar melakukan wewenang dengan sewenang-wenang atau terjadi ketidaksewenangan hukum harus dibuktikan di PTUN. Sebelum lahirnya UU No 30/2014 ini, penilaian apakah pejabat negara berbuat sewenang-wenang itu diserahkan ke Pengadilan Tipikor, satu paket dengan unsur pidana korupsi yang didakwakan jaksa.

"Pasca diundangkannya UU Nomor 30/2014 maka penyalahgunaan wewenang masuk dalam ranah peradilan tata usaha negara," cetus Supandi.

Jalan memutar menjerat koruptor ini juga menjadi tema seminar Ikatan Hakim Indonesia (Ikahi) di Mercure Ancol, pekan lalu. Guru besar Hukum Administrasi Universitas Hasanuddin Prof Guntur Hamzah menyatakan Pasal 17 UU Administrasi Pemerintahan melarang tegas pejabat pemerintahan menyalahgunakan wewenang. Sebab, jika tindakan penyalahgunaan wewenang ini sudah dicegah (upaya preventif) dalam birokrasi pemerintahan melalui Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), maka sudah tidak ada lagi unsur tindak pidana korupsi.

"Norma inilah yang men-trigger lahirnya UU Adminitrasi Pemerintahan dalam kaitannya upaya pemberantasan korupsi," kata Guntur.

Beda pandangan pakar administrasi, beda pula pandangan ahli pidana. Hakim ad hoc tipikor di tingkat Mahkamah Agung (MA), Prof Dr Krisna Harahap menyatakan UU 30/2014 merupakan langkah nyata menghambat upaya pemberantasan korupsi.

"Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam UU No 30 Tahun 2014 ini, nyata-nyata tidak selaras dengan UU Tipikor seperti Pasal 3 UU ini mengatur bagaimana 'setiap orang yang menyalah gunakan kewenangan,kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara'. Setiap orang yang memenuhi unsur-unsur delik yang diatur dalam Pasal 3 (bukan hanya Pegawai Negeri) terancam pidana penjara 1-20 tahun," cetus Krisna Harahap.

"Tegasnya, UU No 30 Tahun 2014 menghambat upaya pemberantasan korupsi," sambung Krisna yang juga mantan anggota Komisi Konstitusi MPR-RI itu.

Begini Rumitnya Pemberantasan Korupsi Pasca Lahirnya UU Administrasi

detik.com
Jakarta - Menurut UU Adminstrasi Negara, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat negara bukan delik pidana dan murni kesalahan administrasi. Hal ini bertentangan dengan UU Tindak Pidana Korupsi yang mengancam pelaku maksimal 20 tahun penjara.

Hal itu dituangkan dalam UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

"Undang-Undang ini menjadi dasar hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan di dalam upaya meningkatkan kepemerintahan yang baik (good governance) dan sebagai upaya mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme. Dengan demikian, Undang-Undang ini harus mampu menciptakan yang semakin baik, transparan, dan efisien," demikian bunyi penjelasan UU itu sebagaimana dikutip detikcom, Senin (30/3/2015).

Selama ini, penyalahgunaan wewenang yang koruptif cukup dijerat oleh majelis Pengadilan Tipikor. Penyalahgunaan wewenang yang diadili salah satunya Pasal 3 UU Tipikor yang berbunyi:

Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak 1 miliar.

Nah, dengan lahirnya UU Adminstrasi Pemerintahan, hakim pengadilan tipikor 'dicabut' haknya menilai apakah ada unsur 'menyalahgunakan kewenangan' atau tidak.

"Pengawasan terhadap larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah," ujar pasal 20 ayat 1.
Hasil pengawasan internal itu adalah tidak terdapat kesalahan, terdapat kesalahan administratif dan terdapat kesalahan administratif yang menimbulkan kerugian keuangan negara.

Jika hasil pengawasan aparat intern pemerintah berupa terdapat kesalahan administratif ditindaklanjuti dalam bentuk penyempurnaan administrasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bagaimana jika ada kerugian negara?

"Pengembalian kerugian negara dibebankan kepada Badan Pemerintahan, apabila kesalahan administrasi terjadi bukan karena adanya unsur penyalahgunaan wewenang," demikian bunyi pasal 22 ayat 5.

Jika kerugian negara itu karena ada penyalahgunaan wewenang, maka dibebankan kepada pejabat pemerintahan. Tapi jika keberatan dengan keputusan hasil pengawasan aparat intern pemerintah, pejabat itu lalu mengajukan keberatan ke PTUN tingkat pertama. Perkara ini final dan binding di tingkat banding.

Meski UU Administrasi Pemerintahan telah mengambil unsur pidana dalam 'penyalahgunaan wewenang', tetapi UU Tipikor belum dicabut. Alhasil, pejabat negara yang dinyatakan berbuat sewenang-wenang oleh PTUN masih bisa diadili oleh Pengadilan Tipikor.

"Tegasnya, UU No 30 Tahun 2014 menghambat upaya pemberantasan korupsi," kata mantan anggota Komisi Konstitusi MPR-RI, Prof Dr Krisna Harahap.

Meski secara pidana membuat pemberantasan korupsi berputar-putar tak tentu arah, tapi UU Adminsitrasi Negara ini sontak didukung oleh hakim agung kamar Tata Usaha Negara.

"Hukum pidana bersifat ultimum remedium, hukum pidana bersifat represif sedangkan hukum administrasi negara dan hukum perdata bersifat preventif sehingga hukum pidana harus dilaksanakan setelah hukum administrasi dan hukum perdata," ucap hakim agung Supandi. 

Rabu, 25 Februari 2015

Permasalahan dalam Pemutusan Kontrak Konstruksi Ditinjau Dari Perspektif Hukum Perdata

Oleh : Dina Simbolon, SH, MH
Kasubbag Bid. Litbang Jaskon

Dalam pelaksanaan pekerjaan konstruksi sangat besar kemungkinan terjadi konflik atau sengketa antara pihak yang terlibat di dalamnya. “In a perfect construction world there would be no conflicts, but there is no perfect construction.” (Acharya and Lee, 2006)

Dengan kata lain, sengketa dalam proyek konstruksi tidak terhindari bahkan bisa digambarkan sebagai ‘persoalan yang endemik’. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan sengketa konstruksi? Menurut Nazarkhan Yasin, sengketa konstruksi adalah sengketa yang terjadi sehubungan dengan pelaksanaan suatu usaha jasa konstruksi antara para pihak yang tersebut dalam suatu kontrak konstruksi. Banyak hal yang bisa menyebabkan terjadinya sengketa konstruksi antara lain karena klaim yang tidak dilayani misalnya keterlambatan pembayaran, keterlambatan penyelesaian pekerjaan, perbedaan penafsiran dokumen kontrak, ketidakmampuan teknis maupun manajerial dari para pihak. Sengketa konstruksi berpotensi menjadi beban atas pihak-pihak yang bersengketa oleh karena penyelesaiannya bisa memakan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Belum lagi risiko tertundanya pelaksanaan pekerjaan konstruksi akibat tidak tercapainya kesepakatan antara pihak yang bersengketa.

Pengertian jasa konstruksi menurut Undang-Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi mencakup layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa sengketa konstruksi bisa terjadi pada tahapan perencanaan k o n s t r u k s i , pelaksanaan konstruksi maupun pengawasan konstruksi.

Kegiatan Pembangunan fisik yang kerap dilaksanakan oleh Kementerian PU dalam menyelenggarakan fungsinya juga tak terlepas dari sengketa konstruksi. Sebagai contoh adalah gugatan-gugatan yang diajukan oleh kontraktor sebagai penyedia jasa kepada Kementerian PU sebagai pengguna jasa atas tindakan pemutusan kontrak yang dilakukan oleh Kementerian PU dengan alasan penyedia jasa tidak mampu menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan waktu yang telah diperjanjikan. Permasalahan yang muncul dalam perkara pemutusan kontrak ini adalah:

  • Mengapa bisa muncul gugatan di pengadilan tata usaha negara padahal sengketa antara Penggugat dan Tergugat didasarkan pada suatu kontrak konstruksi yang merupakan ranah hukum perdata? Walaupun Kementerian PU merupakan badan hukum publik namun ketika mengikatkan diri dalam suatu kontrak, kedudukannya adalah sebagai subjek hukum perdata.
  • Apakah pemutusan kontrak secara sepihak dapat diterima oleh karena berdasarkan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pemutusan kontrak harus dilakukan di depan Hakim (melalui pengadilan)? 
  • Hal-hal apa saja yang dapat menjadi landasan pemutusan kontrak secara sepihak?
Pemerintah sebagai badan hukum publik dapat melakukan tindakan perdata sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1654 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, “Semua badan hukum yang berdiri dengan sah, begitu pula orang-orang swasta, berkuasa untuk melakukan perbuatan-perbuatan perdata, tanpa mengurangi perundang-undangan yang mengubah kekuasaan itu, membatasinya atau menundukkannya kepada tata cara tertentu.” Dengan kata lain pemerintah dapat mengikatkan diri dengan pihak ketiga dalam hal ini penyedia barang atau jasa dalam suatu kontrak dimana di dalamnya diatur hak dan kewajiban dari masing-masing pihak.

Begitu pula halnya dalam kontrak konstruksi, diatur hak dan kewajiban masing-masing pihak dan hal-hal lain yang dianggap perlu diatur demi menjamin pelaksanaan pekerjaan konstruksi tersebut. Dan hal-hal yang diatur di dalam kontrak, berdasarkan ketentuan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, mengikat bagi kedua pihak.

Pemutusan kontrak merupakan salah satu persoalan yang diatur di dalam kontrak, dimana pemutusan kontrak  umumnya diatur di dalam Syarat-Syarat Umum Kontrak (SSUK) yaitu suatu dokumen yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tak terpisahkan dari kontrak. Berdasarkan Peraturan Menteri PU No. 07/PRT/M/2011, pemutusan kontrak dapat dilakukan sepihak, baik oleh pihak penyedia atau pihak PPK.

Pemutusan kontrak ini dapat dilakukan melalui pemberitahuan tertulis, jadi tidak harus melalui pengadilan berdasarkan ketentuan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Hal-hal yang dapat menjadi dasar pemutusan kontrak adalah:

  •  Penyedia lalai / cidera janji dalam melaksanakan kewajibannya dan tidak memperbaiki kelalaiannya dalam jangka waktu yang telah ditetapkan;
  • Penyedia tanpa persetujuan Pengawas Pekerjaan, tidak memulai pelaksanaan pekerjaan;
  • Penyedia menghentikan pekerjaan selama 28 (duapuluh delapan) hari dan penghentian ini tidak tercantum dalam program mutu serta tanpa persetujuan Pengawas Pekerjaan;
  • Penyedia berada dalam keadaan pailit;
  • Penyedia selama masa kontrak gagal memperbaiki cacat mutu dalam jangka waktu yang ditetapkan oleh PPK;
  • Penyedia tidak mempertahankan keberlakuan jaminan pelaksanaan;
  • Denda keterlambatan pelaksanaan pekerjaan akibat kesalahan penyedia sudah melampaui 5% (lima perseratus) dari nilai kontrak dan PPK menilai bahwa Penyedia tidak akan sanggup menyelesaikan sisa pekerjaan;
  • Pengawas Pekerjaan memerintahkan penyedia untuk menunda pelaksanaan atau kelanjutan pekerjaan, dan perintah tersebut tidak ditarik selama 28 (duapuluh delapan) hari;
  • PPK tidak menerbitkan SPP untuk pembayaran tagihan angsuran sesuai dengan yang disepakati sebagaimana tercantum dalam SSKK;
  • Penyedia terbukti melakukan KKN, kecurangan dan/atau pemalsuan dalam proses pengadaan yang diputuskan oleh instansi yang berwenang ; dan/atau
  • Pengaduan tentang penyimpangan prosedur dugaan KKN dan/atau pelanggaran persaingan sehat dalam pelaksanaan pengadaan dinyatakan benar oleh instansi yang berwenang.

Dalam hal pemutusan kontrak dilakukan oleh karena kesalahan penyedia, maka konsekuensinya adalah :
o   Jaminan Pelaksanaan dicairkan;
o   Sisa uang muka harus dilunasi oleh penyedia atau jaminan uang muka dicairkan;
o   Penyedia membayar denda; dan/atau
o   Penyedia dimasukkan dalam Daftar Hitam.

Pemutusan kontrak yang dilakukan oleh PPK dengan alasan keterlambatan penyedia dalam melaksanakan pekerjaan tentunya harus melalui prosedur-prosedur tertentu seperti diberikan peringatan secara tertulis atau dikenakan ketentuan tentang kontrak kritis. Kontrak dinyatakan kritis apabila:

  • Dalam periode I (rencana fisik pelaksanaan 0%-70% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 10% dari rencana;
  • Dalam periode II (rencana fisik pelaksanaan 70%-100% dari kontrak), realisasi fisik pelaksanaan terlambat lebih besar 5% dari rencana;
  • Rencana fisik pelaksanaan 70%-100% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat  kurang dari 5% dari rencana dan akan melampaui tahun anggaran berjalan.

Penanganan kontrak kritis tersebut dilakukan dengan rapat pembuktian atau Show Cause Meeting (SCM) dengan prosedur sebagai berikut:
  • Pada saat kontrak dinyatakan kritis direksi pekerjaan menerbitkan surat peringatan kepada penyedia dan selanjutnya menyelenggarakan SCM.
  • Dalam SCM direksi pekerjaan, direksi teknis dan penyedia membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalamperiode waktu tertentu (uji coba pertama) yang dituangkan dalam berita acara SCM Tahap I;
  • Apabila penyedia gagal pada uji coba pertama, maka harus diselenggarakan SCM Tahap II yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba kedua) yang dituangkan dalam berita acara SCM Tahap II;
  • Apabila penyedia gagal pada uji coba kedua, maka harus diselenggarakan SCM Tahap III yang membahas dan menyepakati besaran kemajuan fisik yang harus dicapai oleh penyedia dalam periode waktu tertentu (uji coba ketiga) yang dituangkan dalam berita acara SCM Tahap III;
  • Pada setiap uji coba yang gagal, PPK harus menerbitkan surat peringatan kepada penyedia atas keterlambatan realisasi fisik pelaksanaan pekerjaan.

Dalam hal terjadi keterlambatan rencana fisik pelaksanaan 70%-100% dari kontrak, realisasi fisik pelaksanaan terlambat kurang dari 5% dari rencana dan akan melampaui tahun anggaran berjalan, maka PPK dapat langsung memutuskan kontrak secara sepihak dengan mengesampingkan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata setelah dilakukan rapat bersama atasan PPK sebelum tahun anggaran berakhir.

Selain itu pemutusan kontrak secara sepihak oleh PPK juga dibenarkan oleh Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2012 apabila :

o   Kebutuhan barang/jasa tidak dapat ditunda melebihi batas berakhirnya kontrak;
o   Penyedia barang/jasa cidera janji dan tidak memperbaiki kelalaiannya;
o   Penyedia diyakini tidak mampu menyelesaikan pekerjaan walaupun diberi waktu sampai dengan 50 hari kalender sejak masa berakhirnya pelaksanaan pekerjaan;
o   Penyedia tidak dapat menyelesaikan pekerjaan setelah diberi waktu 50 hari kalender.

Dari keseluruhan uraian tadi maka dapat disimpulkan bahwa:

  • Sengketa yang timbul dari suatu kontrak konstruksi antara pemerintah yang diwakili oleh PPK dan pihak penyedia merupakan sengketa keperdataan oleh karena ketika pemerintah melakukan suatu tindakan dalam lapangan keperdataan dan tunduk pada ketentuan hukum perdata maka pemerintah bertindak sebagai wakil dari badan hukum bukan wakil dari jabatan. Dengan demikian kedudukan pemerintah dalam hal ini setara dengan kedudukan penyedia, sehingga tindakan penyedia mengajukan gugatan terhadap PPK atas pemutusan kontrak di PTUN adalah suatu kekeliruan.

  • Kontrak merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya, dengan kata lain hal-hal yang diatur di dalam kontrak mengikat pihak-pihak yang mengadakan kontrak tersebut. Di dalam Syarat-Syarat Umum Kontrak berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri PU No. 07/PRT/M/2011 diatur mengenai pemutusan kontrak, dimana PPK dapat melakukan pemutusan kontrak secara sepihak apabila terjadi hal-hal tertentu yang menjadi alasan pemutusan kontrak. Hal ini merupakan pengesampingan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dimana pembatalan suatu kontrak harus dengan putusan Hakim. Ketentuan Pasal 1266 tersebut bias dikesampingkan berdasarkan asas kebebasan berkontrak dimana kedua belah pihak menyatakan secara tegas dalam kontrak untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

  • Pemutusan kontrak secara sepihak tentunya dilakukan melalui prosedur atau mekanisme yang telah ditentukan dalam Syarat-Syarat Umum Kontrak. Dengan kata lain, ada tahapan-tahapan yang harus dilakukan oleh PPK sebelum melakukan pemutusan kontrak, antara lain memberikan teguran secara tertulis dan mengenakan ketentuan tentang kontrak kritis dalam hal terjadi keterlambatan pelaksanaan pekerjaan oleh karena kelalaian penyedia.