Senin, 17 Agustus 2015

Tulisan Menarik dari Kompasiana tentang APH

Dua lembaga negara yang aktif dalam membawa para pelaku korupsi dan yang diduga melakukan tindak korupsi adalah Kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dua lembaga ini memiliki kesamaan tanggung jawab dalam pemberantasan tipikor, namun memiliki perbedaan pendekatan dalam memerangi korupsi. KPKumumnya melakukan pendekatan 'keras', dimana tersangka korupsi terbukti tertangkap tangan, kemudian baru diajukan ke pengadilan. Dua contoh terakhir, Rudy Rubiandini dan Akil Mukhtar petinggi lembaga bergengsi, 'tertangkap basah' menerima 'gratifikasi' ratusan ribu dolar. Alat bukti jelas dan meyakinkan, baru kemudian di proses. Untuk kasus yang sifatnya agak "abu-abu" KPK butuh waktu yang agak lama untuk mengumpulkan bukti-bukti dan cenderung untuk lebih berhati-hati, sebagai contoh: Hambalang dan Century.

Sementara kejagung mengandalkan pada laporan dari pihak lain(umumnya LSM atau perseorangan) dan kemudian mengembangkan kasus berdasarkan laporan tersebut tanpa melihat apakah terduga 'benar-benar' melakukan tindakan korupsi atau tidak. Kasus-kasus yang kita baca di media seperti, Bioremediasi Chevron, frekuensi IM2, Merpati, pengadaan spare part PLN medan dan terakhir kasus perumahan bupati.
Secara awam kita bisa melihat dua perbedaan yg mendasar, dimana satu lembaga menggunakan alat bukti jelas dan satu lembaga lain menggunakan laporan pihak ketiga yg umumnya didasarkan laporan dari pihak yg kalah dalam tender di organisasi tersebut.
  • Bioremediasi Chevron. Secara gamblang dan terang dijelaskan bahwa tidak terdapat penyelewengan oleh pihak chevron oleh institusi yg berwenang spt SKK Migas, Migas dan KLH, namun pihak kejagung mengangkat kasus ini dengan mengandalkan laporan seorang 'saksi ahli' yg ternyata adalah pihak yg kalah tender dalam proses lelang bioremediasi. Pengadilan pertama, sebagaimana kita ketahui, para terdakwa, beberapa malah tidak ikut serta dalam proses pengambilan keputusan bioremediasi telah diputuskan bersalah oleh pengadilan negri. Saat ini para terdakwa mengupayakan banding. Akibat kasus ini, proses bioremediasi Chevron dihentikan yang tentu saja berdampak pada isu lingkungan dari kegiatan produksi MIGAs.
dan masih banyak link yang memberikan pemahaman yang komperhensif untuk kasus ini.
  • Frekuensi IM2. Ini adalah kasus 'yg aneh' bin ajaib. Entah bagian mana yg dianggap merugikan negara, karena berdasarkan sidang di pengadilan tidak ada keuangan negara yang ditilap. Potensi kerugian negara dihitung berdasarkan hitungan menghina logika berpikir.  Walaupun mentri telekomunikasi menyatakan tidak terdapat pelanggaran dan juga masyarakat telekomunikasi sepakat menyatakan tidak ada kerugian dalam penggunaan frekuensi ini, tp kejagung tetap melanjutkan kasus ini. Pelapor kasus ini adalah terpidana 'pemeras' perusahaan Indosat dan telah divonis 16 bulan penjara oleh PN Jakarta. Lebih lengkap mengenai kasus ini boleh digoogle di kompasiana, salah satunya link ini:
  1. http://hukum.kompasiana.com/2013/06/05/salah-tafsir-jaksa-dan-penerapan-hukum-yang-keliru-pada-kasus-im2-indosat-562428.html
  2. http://teknologi.news.viva.co.id/news/read/429743-komisi-yudisial--hakim-bisa-saja-salah-mengerti-soal-iptek
  • Kasus Sewa Pesawat Merpati. Kasus ini bermula dari kecelakaan salah satu pesawat Merpati di Papua yang menewaskan kurang lebih 20-an penumpangnya. Kemudian kejaksaan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap proses pengadaan pesawat. Walaupun terkesan aneh dengan alasan pemeriksaan ke bagian proses pengadaan oleh pihak kejaksaan, namun hal ini mungkin bisa dimengerti jika ditengarai ada masalah korupsi di sana. Pada kenyataannya, pihak kejaksaan tidak menyentuh substansi dari penyebab jatuhnya pesawat namun fokus pada proses pengadaan yang telah sesuai dengan aturan yang berlaku. KPK pernah mengkaji kasus ini namun tidak memprosesnya karena tidak cukup bukti. Vonis bebas Hotasi Nababan, pemegang gelar master dari salah satu kampus terbaik di Indonesia (ITB) dan di muka bumi (MIT), adalah sebuah mukjizat dan titik cerah di dalam carut marutnya penegakan hukum negeri ini. Karena biasanya jika sudah memasuki ranah korupsi, hakim cenderung untuk menutup mata  dan ketakutan memutus bebas suatu perkara korupsi. Walaupun pada kenyataannya tidak ada unsur kerugian Negara disana. Hakim pemutus perkara Hotasi adalah Pribadi yang rasional dan berkarakter. Link bisa dilihat dibawah.
  • Sparepart Gas Turbin PLN Belawan. Ada dua kasus Gas Turbin Belawan yang saat ini ditangani oleh Kejagung. Kedua kasus yg mengabaikan kecerdasan masyarakat. Untuk kasus pertama, 5 orang karyawan PLN dipenjarakan karena pemasok (kontraktor) mereka dianggap mengirim 'barang palsu' yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ada di kontrak. Walaupun telah dibantah oleh 'principal' (Siemen) bahwa  suku cadang dimaksud adalah asli dan versi upgrade, tapi kejaksaan agung menafikan hal ini. Sementara itu Kontraktornya sendiri tidak diperiksa (DPO) dan laporan didasarkan pada laporan LSM yang merasa dirugikan. Dalam pemahaman awam, bahwa ini harusnya masuk dalam ranah perdata karena terkait kontraktual. Tuntutan jaksa yang mensyaratkan survey ke Jerman untuk penyusunan HPS adalah tuntutan yang tidak tepat karena bertentangan dengan prinsip dasar pengadaan efisiensi dan efektifitas. Jika persyaratan survey ini adalah kewajiban, bisa dipastikan hampir semua pelaku proses pengadaan di BUMN harus di Penjara karena tuduhan korupsi. Akibat kasus ini gas turbin terkait tidak boleh dioperasikan dan dampaknya adalah produksi listrik di sumbagut pada titik nadir. Disamping itu, kasus ini menjadi momok menakutkan buat pengadaan suku cadang PLN karena tidak ada jaminan bahwa pekerja ataupun pejabat yang berhubungan dengan perawatan dan operasi dapat bekerja de ngan profesional. Pada akhirnya Masyarakat dirugikan karena listrik hidup mati setiap hari dan negara dirugikan 5 Milyar perhari karena disitanya turbin yg merupakan penghasil utama listrik sumbagut.
Kesamaan dari kasus yang ditangani oleh Kejagung di atas adalah, adanya pelaporan dari LSM atau individu yang mengatasnamakan LSM kepada oknum kejaksaan. Individu pelapor adalah pihak-pihak yang memiliki ‘interest’ di perusahaan tersebut dan ditengarai terjadi konspirasi antara pihak kejaksaan. Entah secara kebetulan, jaksa dari 3 kasus di atas adalah orang yang sama. Dewi keadilan bangsa Romawi, Justitia, dilambangkan dengan membawa timbangan dan pedang serta sering dengan mata tertutup pita. "Justice may be blind..but it can see in the dark". Keadilan tidak mengenal stigma, hakim harus jauh dari praduga dan jaksa seharusnya fokus pada proses penuntutan. Karena proses penyelidikan dan penyidikan sudah sepatutnya diserahkan kepada lembaga lain (kepolisian) supaya tidak  terjadi tumpang tindih dan kejaksaan menjadi sarang konspirasi para mafia korupsi.
Mari kita doakan semoga Tuhan membersihkan lembaga kejaksaan dari oknum-oknum yang berkonspirasi menzalimi karyawan-karyawan biasa dan memberikan kebijaksanaan sejati yang paripurna seperti yang terpapar di seloka kejagung “Satya Adi Wicaksana”. Dan semoga lembaga kehakiman mampu menjadi penjaga tapal batas keadilan yang sangat kabur dan tak jelas di masa penuh dengan fitnah dan keragu-raguan ini.

Tidak ada komentar: