Senin, 03 Desember 2007

Berani Berkata "Tidak" untuk Kebaikan Diri dan Lingkungan


Ternyata setelah mensurvei banyak orang yang begitu populer dalam
pergaulan dan terkesan selalu siap sedia untuk membantu orang lain
dengan perkataan ya di setiap saat, justru sosok ini adalah orang
yang tidak tahu menghargai dirinya dan lingkungannya. Bahkan,
menyusahkan dirinya sendiri, juga lingkungannya

BANYAK orang tidak berani bilang tidak, pada apa yang dimintakan pada
dirinya. Maka yang terjadi dia selalu berkata: ya, ok, atau baiklah,
sebagai pengganti kata menyanggupi sesuatu yang diminta darinya.
Sepintas hal ini tidak ada yang bermasalah dan terkesan bagus, jika
kita selalu bisa menolong orang lain. Tetapi apa yang terjadi dibalik
kata: ya, ok, atau baiklah?


Dengan tidak mempunyai keberanian menolak, dengan kata lain tidak
berani mengatakan: tidak mau, tidak sanggup, tidak bisa, dan
sebagainya, maka kita bisa membuat susah diri dan lingkungan kita
sendiri. Mengapa ini bisa terjadi?

Banyak orang yang selalu bisa bilang: ya, pada setiap orang yang
meminta apa pun padanya. Baik jasanya, bendanya, bahkan ide-ide, dan
sebagainya. Maka orang ini menjadi populer dalam pergaulan dan
menjadi sosok yang bisa diandalkan oleh semua orang. Tetapi apakah
benar demikian adanya?

Ternyata setelah mensurvei banyak orang yang begitu populer dalam
pergaulan dan terkesan selalu siap sedia untuk membantu orang lain
dengan perkataan ya di setiap saat, justru sosok ini adalah orang
yang tidak tahu menghargai dirinya dan lingkungannya. Bahkan,
menyusahkan dirinya sendiri, juga lingkungannya. Mengapa bisa
demikian?

Coba kita tinjau contoh-contoh di bawah ini. Sadar atau tidak, Anda
dan saya sering melakukannya. Contoh dari situasi yang sebenarnya
kita ingin/ mau sejujurnya menjawab tidak.

Ketika teman atau kerabat menelepon dan mengajak kita pergi ke mal,
padahal kita sedang asyik menikmati liburan di rumah dengan membaca
buku dan sejujurnya kita malas untuk pergi. Pikiran otomatis yang
tidak realistis - untuk menghindar dengan berkata tidak - muncul
karena yang keluar dari pikiran kita adalah: jika saya bilang tidak
mau, bisa melukai dia, juga bisa menjadi marah; saya tidak punya
alasan yang tepat untuk menolaknya; saya tidak enak karena dia teman
atau kerabat dekat, dan sebagainya. Akhirnya kita terpaksa menjawab:
ok, ya, baiklah! Tetapi hati kita tidak rela untuk pergi. Nah, apakah
ini baik untuk diri kita dan lingkungan? Dalam kejadian ini, yang
dirugikan hanya pihak kita karena pergi dengan terpaksa. Lalu, masih
ada contoh lain sebagai berikut. Teman atau kerabat meminta kesediaan
Anda untuk menjadi penerima tamu dalam pesta pernikahan anaknya.
Padahal, pada hari dan tanggal tersebut, ada juga acara syukuran
teman sekantor yang baru sembuh dari sakit.

Pikiran otomatis mengatakan, jika saya bilang tidak bisa, nanti
dikira saya tidak mau rukun dengan teman atau kerabat. Tetapi jika
bilang ya atau baiklah, saya juga tidak enak hati dengan teman
sekantor yang mengundang syukuran. Nah, akhirnya pada keduanya Anda
bilang ya. "Baiklah, saya akan datang dan memenuhi permintaan kamu".

Ternyata yang terjadi pada hari tersebut, jarak tempuh yang cukup
jauh dan lalu lintas yang macet, membuat Anda terlambat untuk menjadi
penerima tamu, karena tidak bisa bilang tidak, saat tetap ditahan
oleh teman yang kangen karena sakit yang lama dan dalam suasana
bersyukur. Akhirnya penerima tamu dalam pesta tidak ada atau kurang
lengkap karena Anda datang sangat terlambat.

Nah dalam hal ini, selain menyusahkan diri sendiri yang tidak mampu
bilang: tidak bisa, tidak mau, tidak sanggup, maka pihak yang Anda
sanggupi dengan berkata: ya saya bisa, ya saya mau, juga menjadi
susah karena acaranya berantakan dengan ketidakhadiran atau
keterlambatan Anda di pestanya.


Terbelenggu

Jika kita merasa harus bisa bilang ya, sedangkan sebenarnya dalam
diri kita mau bilang tidak, saat itulah penting bagi kita untuk sadar
dengan pola pikiran yang selama ini terbentuk. Tentu tidak masalah
kalau kita sesekali memanipulasi pikiran kita sendiri dengan berkata
ya, saat sebenarnya kita ingin mengatakan tidak. Untuk seterusnya
berdasarkan pola pikiran yang tidak realistis itu membuat kita
terjebak dalam permainan pikiran kita sendiri. Akhirnya, kita membuat
diri seperti selalu harus baik/ramah dan bersedia menolong, tetapi
justru lebih menyusahkan diri sendiri. Hal itu jelas terlihat pada
ilustrasi cerita di atas.


Pola Pikiran

Dengan demikian, penting bagi kita untuk mulai belajar mengenali pola
pikiran sendiri yang selalu merasa bersalah jika berkata tidak. Kita
harus belajar atau bersedia memulai untuk menabrak pola pikiran yang
selama ini terbentuk dengan mengantisipasi risiko dari menjawab
tidak. Kemudian, kita juga bisa membuat pertanyaan kritis terhadap
diri sendiri: jika kita berkata tidak, apakah efeknya untuk diri kita
dan lingkungan lebih baik atau malah merusak?

Belajar dari pengalaman dengan selalu menjawab ya, apakah selama ini
hasilnya selalu baik untuk diri maupun lingkungan? Buat juga
pertanyaan kritis pada diri sendiri, bahwa selama ini dengan selalu
menjawab ya, sebenarnya kita menyakiti diri sendiri dan hanya
menyenangkan orang lain.

Kita harus belajar memahami pikiran dan perasaan kita sendiri dan
tahu bahwa kita mempunyai hak penuh untuk mengatakan tidak, tanpa ada
keharusan menjawab alasannya.

Tidak bisa di pungkiri, kita terbelenggu dengan pola kebiasaan, pola
yang berpikir untuk bisa menjadi orang ramah, orang baik, dengan
selalu siap menjawab ya. Sebaliknya merasa bersalah jika sampai
berkata tidak terhadap orang lain yang datang pada kita.

Untuk menjaga relasi sosial tetap berjalan baik, kita bisa mengganti
kata tidak dengan kata-kata yang dianggap lebih halus. Kita bisa
mengganti kata tidak dengan berkata,"Bukan selera saya, terima kasih"
atau "Saya sudah ada janji lain". Yang paling umum menggantikan kata
tidak untuk menolak sesuatu yang kita tidak mau perbuat adalah dengan
mengatakan, "Saya sangat sibuk" atau "Jadwal saya sudah sangat
padat". Kata-kata atau kalimat itu terasa lebih luwes.

Perlahan tapi pasti, kita harus belajar untuk berani berkata tidak
terhadap sesuatu yang bisa membuat diri dan lingkungan menjadi
bermasalah, karena kita melakukan sesuatu yang bisa kita tolak karena
memang tidak mau melaksanakannya.


Sumber: Berani Berkata "Tidak" untuk Kebaikan Diri dan Lingkungan
oleh Lianny Hendranata

Tidak ada komentar: